Sebuah
upaya pemahaman akan dinamika hubungan antara seorang Penatua dengan Gayus,
serta semangat yang perlu dipupuk pada gereja masa kini.
Pendahuluan
Bagi kebanyakan
orang, membaca teks “Salam” dari sebuah surat dalam Alkitab merupakan hal yang
tidak terlalu penting atau bila perlu langsung dilewatkan saja kepada bagian
intinya, namun sebenarnya dengan membaca bagian ini kita dapat menemukan
informasi penting mengenai keberadaan penulis dan seperti apa atau bagaimana
dengan pihak (individu/kelompok) yang dituju.
Sebagai sebuah
teks yang berbentuk surat, terdapat pula jenis dari surat tersebut. Ada yang
merupakan surat pribadi kepada pribadi lain, kelompok ke kelompok lain, surat
rahasia, ataupun surat umum yang terbuka bagi khalayak publik. Isi yang
tercantum di dalamnya pun akan bergantung pada sepeti apa/jenis apa surat
tersebut. Apabila surat tersebut adalah surat pribadi, maka bahasa dan konten
yang dimasukan pun akan mengikuti jenisnya. Tentunya ketika sebuah surat
dilayangkan kepada suatu alamat, maka yang terjadi adalah akan terbentuk/mempererat
sebuah hubungan/relasi.
Surat 3 Yohanes 1:1-4 adalah
sebuah bagian surat yang disebut salam, yang muncul pada awal surat. Dari teks
ini saya akan mencoba menafsir dan menggali informasi-informasi yang
memungkinkan untuk diangkat dan diperbincangkan.
Upaya yang dilakukan adalah berdasarkan dari pertanyaan-pertanyaan pribadi yang
muncul ketika membaca teks. Pada
tulisan kali ini, saya akan mencoba menafsir ayat demi ayat sebagai sebuah
surat yang di dalamnya memiliki dinamika sebuah hubungan/relasi.
Tafsir 3 Yohanes 1:1-4
1 ~O
presbu,teroj Gai<w| tw/| avgaphtw/|( o]n evgw. avgapw/ evn avlhqei,a|Å
1 Dari penatua kepada Gayus yang kekasih, yang kukasihi
dalam kebenaran.
Redaksi
pertama dari format Salam ini menunjuk langsung pada subjek penulis surat
(penatua/elder/presbiteros) yang
kemudian ditujukan kepada Gayus. Namun siapa sebenarnya penulis? Dalam teks 3
Yohanes, kita tidak dapat menemukan identitas lain dari penulis selain bahwa ia
sendiri adalah seorang penatua. Lalu mengapa sampai penulis merasa tidak perlu
untuk menulis identitasnya kepada Gayus? Untuk menjawabnya, saya mencoba
menarik 2 hipotesa, yang pertama adalah surat ini merupakan surat pribadi
antara si presbiteros dan Gayus, keduanya sudah saling mengenal antara satu
dengan yang lain sehingga penulisan identitas penulis surat dirasa sudah tidak
perlu lagi, toh Gayus pun telah
mengetahui siapa pengirimnya walaupun hanya diberi keterangan “penatua”.
Hipotesa yang kedua, Surat ini adalah surat “kantoran” (ada unsur eklesiologi)
dari seorang pemimpin jemaat kepada Gayus dalam rangka komunikasi kerja
(official communication). Namun untuk membuktikan kedua hipotesa tersebut, kita
masih harus membahas redaksi kalimat yang berikutnya. Ada juga kemungkinan
bahwa hipotesa tersebut justru salah sama sekali.
Selain surat yang ditujukan kepada Gayus, penulis menyertakan
ungkapan/pangkat “yang kekasih/agapeto” yang disandingkan pada nama Gayus. Ia
juga bersaksi bahwa ia mengasihi Gayus dalam kebenaran. Kedua ungkapan ini bisa
saja ditafsirkan sebagai redaksi formal dalam sebuah surat, ini merupakan
ungkapan salam yang khas dan wajib dalam pembukaan sebuah surat. Namun bagi
saya ini juga bisa menjadi sebuah penjelasan lain yang menjelaskan pola
hubungan antara penulis dengan Gayus. Kata evgw. avgapw mengisyaratkan penatua sangat/betul-betul mengasihi
Gayus. Relasi yang dibangun antara mereka bersifat personal (dengan penekanan
“aku”). Sehingga ada ikatan relasi yang dibentuk diantaranya. Bahasa yang
digunakan merupakan bahasa antar saudara. Persaudaraan yang dimaksud adalah
saudara di dalam iman mereka (bukan saudara kandung).
Terlepas
dari kedua hipotesa yang saya buat di atas, Howard Marshall mengemukakan bahwa
surat 3 Yohanes adalah salah satu dari sedikit surat dalam Perjanjian Baru yang
ditujukan kepada orang Kristen secara individual.[1] Berangkat dari kenyataan tersebut, agaknya
memang kita perlu menempatkan posisi teks ini pada posisi yang istimewa karena
di dalamnya terdapat dinamika khusus antara penulis (presbiteros) dengan Gayus.
Sebelum
lebih jauh pembahasan kita, sebaiknya kita perlu mengetahui terlebih dahulu
juga siapa atau seperti apa “penatua/elder/presbiteros” yang merupakan penulis surat
ini. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, memang dalam teks kita tidak
dapat menemukan identitas lain dari penulis selain bahwa ia adalah seorang
penatua. Untuk itu kita perlu mengetahui terlebih dahulu seperti apa dinamika
seorang penatua secara umum. Sebenarnya
dalam surat Yohanes, yang menggunakan kata presbiteros hanyalah 2-3 Yohanes. Presbiteros pada teks 2-3 Yohanes dikenal dengan
anonim.[2]
Willi Marxsen mengatakan bahwa sulit mencari siapa si pengarang teks yang
sesungguhnya. Penyebutan si pengarang atas dirinya sebagai penatua (presbiteros)
tanpa petunjuk akan namanya adalah aneh. Agaknya penyebutan tersebut tidak
diartikan untuk ‘rasul Yohanes’.[3]
Teks dengan penulisnya yang anonim pada akhirnya membuka kemungkinan besar pada
siapa pun untuk menjadi presbiteros/elder, namun Marxen sedikit memberi
kejelasan pasti akan identitas dari si presbiteros, ia berpendapat bahwa
pengarang tergolong pada ‘aliran’ Yohanes dan menuliskan 2-3 Yohanes di Timur
sekitar peralihan abad pertama.[4]
Dalam Perjanjian Baru, ‘penatua’ adalah ‘orang yang dituakan’ sehingga kata tersebut sebenarnya juga
menandung makna ke-hirarkian gerejawi. Selain itu ia dapat dikatakan memiliki peringkat ke dua
setelah Pendeta. Ia juga adalah rasul di dalam pemerintahan dari gereja dan
memiliki kepedulian spiritual jemaat, mempelajari aturan dan memberikan hukum
dan pelajaran.[5]
Seorang ‘penatua’ atau
‘pemimpin jemaat’ dapat dipastikan lebih memiliki wibawa dibandingkan dengan
jemaat biasa. Menurut Stoot, penatua berada pada kedudukan yang yang
memposisikan dirinya untuk bertanggung jawab dan kemimpinan pada gereja lokal.[6]
Berangkat dari konsep ini, kita juga perlu
menyadari akan 1 hal bahwa surat ini ditulis pada 3 abad pertama dalam kekristenan, praktis tidak ada gedung
gereja. Semua orang Kristen berkumpul di dalam rumah-rumah.
Lalu bagaimana dengan Gayus? Siapa dia sehingga ia mendapat tempat yang
istimewa oleh penulis? Barclay
mengutarakan ada Gayus, orang Makedonia yang bersama dengan Aristarchus, berada
dengan Paulus pada waktu terjadi huru-hara di Efesus (Kis 19:29). Ada Gayus
dari Derbe, yang adalah delegasi dari gerejanya yang menyampaikan kolekte bagi
orang miskin di Yerusalem (Kis 20;4). Ada Gayus dari Korintus yang adalah tuan
rumah dari Paulus, seorang yang begitu ramah sehingga ia dapat disebut tuan
rumah dari seluruh gereja (Rm 16:23) dan adalah satu dari beberapa orang yang
secara pribadi dibaptis Paulus (1 Kor 1:14), yang menurut tradisi menjadi Uskup
pertama di Tesalonika.[7]
Canon Brooke berpendapat
bahwa Gayus yang terakhir ini adalah orang “khayalan” yang dituju oleh surat
Yohanes ini karena memiliki kesamaan kondisi.[8] Namun menurut saya, kita tidak dapat menaruh
kepastian akan identitas dari Gayus yang saat ini sedang kita bahas saat ini
karena tidak ada keterangan yang pasti Gayus yang mana. Jika Gayus
mendapatkan surat pribadi dari presbiteros, ada kemungkinan juga bahwa ia
adalah orang yang memiliki jabatan dalam gereja atau orang penting dalam
lingkup masyarakat juga. Bila tidak demikian, paling tidak Gayus memiliki
tempat yang spesial bagi si presbiteros tersebut dan bahwa hubungan mereka
cukup erat.
2 VAgaphte,(
peri. pa,ntwn eu;comai, se euvodou/sqai kai. u`giai,nein( kaqw.j euvodou/tai,
sou h` yuch,Å
2 Saudaraku yang kekasih, aku
berdoa, semoga engkau baik-baik dan sehat-sehat saja dalam segala sesuatu, sama
seperti jiwamu baik-baik saja.
Redaksi kalimat berikutnya adalah dalam
bentuk sebuah doa dan harapan dari presbiteros akan kondisi dari Gayus. Ia memanggil Gayus dengan sebutan ‘saudara’,
hal tersebut ingin menekankan bahwa Gayus dianggap sebagai saudara yang
dikasihinya. Terjemahan ITB
mengartikan Ἀγαπητέ dengan “saudara yang
kekasih” padahal GNT hanya menyebut Ἀγαπητέ tanpa ἀδελφῶj yang berarti saudara. Nampaknya ITB ingin
menunjukkan suatu kedekatan yang lebih dengan memakai kata ‘saudara’ sebagai
panggilan di samping ‘yang kekasih’. Saudara berarti memiliki hubungan
kekeluargaan. Pandangan saya, jika dalam Bahasa Indonesia hanya memakai kata
yang kekasih, memang itu adalah kata benda, tetapi lebih ke kata sifat. Dengan
menghadirkan kata saudara, bukan hanya menunjukkan kedekatan tetapi juga wujud
pribadi lebih terasa.
Untuk itu ia
mendokan akan kesehatan Gayus. Yang menarik dalam redaksi kalimat ini adalah
pada penggunaan kata h` yuch yang pada
umumnya di Perjanjian Baru biasa dipertentangkan dengan sarx. Namun kali ini penulis tidak hanya bicara ttg kesehatan
badan, tapi juga berbicara secara lebih mendalam (internal). Walaupun ada
pembagian antara internal dan eksternal, tapi presbiteros sebagai penulis tidak
bermaksud untuk berpikir dikotomis antara keduanya. Kata ‘aku berdoa’ disini
juga bukanlah sebuah ungkapan teknis semata, namun juga merupakan ungkapan hati
dari penatua yang rindu akan kesejahteraan Gayus (dalam artian dukungan antar
sesama orang percaya).
Senada dengan
pandangan di atas, menurut Stoot, ekspresi doa yang dibangun oleh penulis
bersifat permohonan untuk kesejahteraan Gayus. Bahwa kesejahteraan fisik dan
kesejahteraan spiritual harus seimbang. Hal ini merupakan salah satu perintah
dalam alkitab. Keinginan seperti ini juga berlaku bagi teman-teman Kristiani
(bukan hanya Gayus).[9]
Barclay mengaitkannya dengan Yesus yang tidak pernah lupa bahwa manusia
mempunyai tubuh dan jiwa, keduanya membutuhkan perhatian yang sama.[10]
Ada istilah yang tidak asing di telinga kita,
yakni: “Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat”. Nampaknya hal inil
sepadan dengan apa yang ingin disampaikan penulis pada ayat 2 ini. Dari sesuatu
yang di luar, tubuh yang sehat kita dapat melihat jiwa yang sehat pula. Memang
pernyataan itu tidak selalu benar. Setidaknya ada harapan demikian. Jika
jiwanya atau kehidupannya sehat, lalu beranjak pada harapan bahwa segala
sesuatunya baik dan sehat pula. Yang jiwani di sini seakan terpisah dari yang
badani memang. Tetapi terlihat seperti satu. Jika badan sehat, tubuh juga kuat,
begitu pula sebaliknya. Seakan-akan jiwa yang sehat terpancar pula dari
kehidupan dan jasmani dan keseluruhan hidup. Anugerah dan kesehatan yang
terlihat saling beriringan[11]
memunculkan pemahaman bahwa ketika kita sehat, itu semua karena anugerah.
Tetapi ketika kita sehat, anugerah dapat didatangkan.
3 evca,rhn
ga.r li,an evrcome,nwn avdelfw/n kai. marturou,ntwn sou th/| avlhqei,a|( kaqw.j
su. evn avlhqei,a| peripatei/jÅ
3 Sebab aku sangat bersukacita,
ketika beberapa saudara datang dan memberi kesaksian tentang hidupmu dalam
kebenaran, sebab memang engkau hidup dalam kebenaran.
Pada ayat ini muncul tokoh baru. Tokoh-tokoh yang tidak diketahui
siapa, namun disebut sebagai ἀδελφῶν atau brothers (saudara-saudara). Terjemahan
ITB mengartikan sebagai beberapa saudara, padahal teks aslinya sendiri tidak
berkata mengenai beberapa tetapi saudara-saudara. Karena beberapa dapat berarti
tidak semua, padahal Bahasa Yunaninya sendiri tidak berkata mengenai beberapa
atau semua, yang jelas plural. Lalu siapakah saudara-saudara yang dimaksud di
sini? Adakah saudara-saudara ini lebih dekat daripada terhadap Gayus. Atau kata
saudara adalah sebuah sebutan untuk orang lain sebagai keterbukaan untuk
menganggap yang lain sebagai sebuah bagian dari keluarganya.
Brother adalah dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru memiliki banyak
pengertian. Dapat berarti anggota
sebuah suku, murid, teman, keterhubungan
moral, kesetaraan peringkat atau jabatan.[12]
Istilah ini pada akhirnya diadopsi bagi orang Kristen mula-mula sebagai
persaudaraan cinta satu sama lain di dalam Kristus. Mungkin saja brother atau ἀδελφῶν dalam ayat ini dapat berarti salah satu makna
di atas. Yang menarik adalah bahwa dalam kata saudara, ada makna kesetaraan
taraf atau jabatan. Ini dapat berarti bagi siapa pun sebagai sebuah kerendahan
hati tanpa memandang atau menonjolkan derajat tertentu.
Dalam lingkup
eklesiologi, kata saudara dapat berarti sebuah persekutuan. Karena semua sama
di dalam Kristus, saudara di dalam Dia. Bayangkan jika seluruh anggota jemaat
menganggap satu akan yang lain sebagai saudara, bukankah itu wujud sebuah
persekutuan? Seorang saudara tak akan membiarkan saudaranya yang lain begitu
saja. Ada sebuah relasi. Sebuah persekutuan lebih dari sekedar sebutan
kekeluargaan yang berarti sedarah atau satu peranakan.
Kalau begitu,
siapa saja yang dimaksudkan oleh penulis sebagai “brothers” yang telah datang menyampaikan kabar sukacita tersebut
kepada presbiteros? Untuk menjawab akan pertanyaan ini, kita perlu melihat
terlebih dahulu konsep eklesiologi pada masa itu. Dari membaca teks, saya
menemukan pola bahwa posisi antara presbiteros dengan Gayus berada pada jarak
yang cukup jauh. Untuk menjembatani jarak tersebut dibutuhkan yang namanya
komunikasi antara gereja yang satu dengan gereja yang lain. Betapapun berupa
rumah tangga, semangat atau motivasi bahwa satu sama lain tetap mempunyai
ikatan tetap menjadi tanggunjawab masing-masing.
Berangkat dari
konsep di atas, kemungkinan saudara-saudara yang datang ini (secara
ekslesiologi) juga terlibat dalam kegiatan-kegiatan pemberitaan Injil. Mereka
melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat yang lain dalam rangka marturia
dan dalam kesempatannya mereka juga akan saling memberikan kabar dari
gereja/rumah yang sebelumnya pernah dikunjungi (termasuk Gayus yang telah
dikunjungi oleh mereka). Perlu diingat bahwa kegiatan ini didukung oleh setiap
gereja rumah tangga yang dikunjungi oleh tokoh ‘saudara-saudara’ dalam teks.
Kata evn avlhqei,a mendeskripsikan
tentang “kebenaran milikmu” (kebenaran di dalam kehidupanmu) dan sebagai
seorang pejalan dalam kebenaran.[13]
Scoot mengungkapkan bahwa kebenaran pada Gayus menjadi sesuatu kebiasaanya. Ia
berjalan pada kebenaran merupakan bentuk kekristenan yang integrasikan, tidak
lain untuk mendekotomikan antara kedudukan dan tindakan. Kebenaran bukan
sekedar persoalan intelektualitas diasimilasikan.[14]
Selain itu, Barclay mengungkapkan bahwa redaksi “berjalan dalam kebenaran”,
bentuk kata berupa frase dan menjadi satu rangkaian. Ketika kebenaran
dipersonifikasikan sebagai “hal yang berjalan”, berarti maksudnya kebenaran
merupakan tindakan yang tidak dilakukan hanya sekali saja. Saya setuju dengan
pandangan Barclay karena dengan memaknai teks seperti ini, maka kita akan
menemukan kesan terjadinya proses, secara kontinuitas yang sudah menjadi
kebiasaan dalam kehidupan Gayus. Pemaknaan ini juga perlu kita latar belakangi
dengan pemahaman bahwa sejak penulisan 1 dan 2 Yohanes, surat ini dibuat untuk
gereja-gereja dalam upaya menghadapi
masalah yang ditimbulkan oleh bidaah yang juga berada disekitar gereja.[15]
4 meizote,ran
tou,twn ouvk e;cw cara,n( i[na avkou,w ta. evma. te,kna evn th/| avlhqei,a|
peripatou/ntaÅ
4 Bagiku tidak ada sukacita yang lebih besar dari pada
mendengar, bahwa anak-anakku hidup dalam kebenaran.
Ayat ini rupanya
merupakan sebuah kelanjutan dari ayat sebelumnya. Penatua merasa senang ketika
mendengar keberadaan ‘anak-anaknya’ yang hidup dalam kebenaran. Pada kesempatan
ini penulis menyampaikan bahwa ia mempunyai banyak anak-anak. Sehingga muncul
kesan bahwa selain sebagai penatua dalam sebuah gereja, ia juga pernah
melakuakan perkunjungan dan/atau marturia kepada rumah-rumah/gereja dan
menganggap bahwa mereka adalah anak-anaknya (Ini membuka kemungkinan juga bahwa
Gayus pun adalah salah satu dari orang-orang yang dikunjungi presbiteros).
Stoot juga
menyatakan kedua surat menyatakan persoalan yang sama. Persoalan yang ada
berkisar tentang para pengajar yang berkunjung secara berkeliling dan hal apa
saja yang diberikan kepada jemaat setempat. Oleh sebab itu kedua surat
dikonsentrasikan pada kebenaran kristiani dan kasih sayang serta relasi yang
ramah antar mereka. Letak perbedaannya kepada si penerima surat. Surat ini
dituliskan pada selembar papirus. Pada 2 Yohanes, presbiteros menulis ke satu gereja lokal (dengan jamak), dipersonifikasikan sebagai “wanita
pilihan dan anak-anaknya”. Pada 3 Yohanes dia (presbiteros) menuliskan surat kepada salah satu anggota pemimpin
(secara personal) dari gereja lokal.[16]
Yang menarik dari
penulisan redaksi kalimat, penulis tidak hanya menekankan soal kebenaran saja
sebagai pokok utama dari pemberitaan, tetapi ia juga ingin memberikan kesan
adanya hubungan cinta kasih antara penulis sebagai penatua dengan anak-anaknya.
Selain itu juga pada pemilihan kata te,kna (netral,
jamak) yang diapakai untuk menunjuk kata anak-anak. Penggunaan kata dengan
jenis netral ini rupanya merupakan upaya yang baik karena tidak memberikan
kesan bias gender sehingga anak-anak dari presbiteros ini bukan hanya laki-laki
saja melainkan perempuan dan mungkin anak-anak.
Penggunaan kata ta. evma. te,kna rupanya meluas juga kepada orang-orang yang lain. Ini menimbulkan
kesan generalisasi, bahwa semua orang yang model kehidupannya seperti itu akan
disebut anak-anak Allah. Dalam
kondisi sebagai pejabat gereja (presbiteros) ini merupakan sukacita yang besar
yaitu adalah ketika ‘anak-anaknya’ berlaku seperti apa yang diharapkan. Hal
inilah yang kemudian menjadi semangat berkelanjutan dalam sebuah dinamika
gereja sampai saat ini. Dinamika antara presbiteros dan Gayus yang saat ini
dibahas telah mewakili dinamika sebuah kehidupan jemaat mula-mula yang
dikabarkan lewat surat Yohanes.
Penutup
Kita telah
membahas secara mendalam akan dinamika dalam surat 3 Yohanes: 1-4. Hipotesa yang
saya buat sebelumnya bisa dikatakan benar bahwa surat ini merupakan surat
pribadi dari presbiteros kepada Gayus sebagai orang yang hidup dalam kebenaran,
sekalipun pada konteksnya saat itu banyak orang yang dikacaukan imannya dengan
keberadaan bidaah. Hal inilah yang kemudian coba diangkat dan diserahkan lagi
kepada kita sebagai pembaca lain (diluar Gayus). Sebagai orang beriman yang
sama seperti Gayus, kita dipersonifikasikan sebagai orang yang sudah dan sedang
berjalan dalam kebenaran ilahi (avlhqei,a).
Sebagai pembaca masa kini, kita juga diajak untuk berefleksi dan menjadi orang
yang hidup dalam kebenaran dan disaksikan dalam perilaku sehari-hari yang telah
dan terus menerus dilakukan.
Hal menarik untuk
juga ditarik dalam konteks kehidupan jemaat saat ini adalah upaya dan semangat
gereja (baik pemimpin jemaat maupun anggota jemaat) dalam memaknai “perjalanan
anggotanya”. Upaya dan semangat seperti
yang ditunjukan oleh Presbiteros sebagai penatua/pemimpin jemaat telah luntur.
Untuk itu biarlah dengan mencermati kembali dinamika kehangatan relasi dalam
perikop yang singkat ini, kita dapat semakin menumbuhkan rasa kesatuan dan
semakin memperhatikan perjalanan kehidupan kita dalam kebenaran. Kebenaran yang
telah dilakukan dan masih terus menerus dilakukan.
Daftar Pustaka
Brooke, Canon A.
E. ,1996. A Critical and Exegetical
Commentary On The Johhannine Epistles. Edinburgh: T&T Clark.
Marshal, Howard
I. , 1990. The Epistles Of John. USA:William
B. Eerdmans Publishing Company
Marxsen, Willi, 2009. Pengantar Perjanjian Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Henry,
Matthew, 1991. Matthew Henry’s Commentary
On The Bible Volume 6: Acts to Revelation. USA: Hendrickson Publishers.
JRW, Stoot, 1969. The
Epistles of John; An Introduction and Commentary, Lodon: The Tyndale Press.
Bromiley,
Geoffrey W., 1998. The International
Standard Bible Ensyclopedia. Michigan: William B. Eerdman Publishing
Company.
[1] Disarikan dan dialihbahasakan dari I. Howard Marshal, The Epistles Of John, (USA:William B.
Eerdmans Publishing Company, 1990), p. 81
[2] dipetik dari Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), p.
329
[3] ibid, p. 333
[4] Ibid, p. 329
[5] disarikan dan dialihbahasakan dari Henry Synder
Gehman, The New West Minister Dictionary
of The Bible,(Philadelphia: West Minister Press), p. 256-257
[6] disarikan dan dialihbahasakan Stoot JRW, The Epistles of John; An Introduction and
Commentary, Lodon: The Tyndale Press, p. 218.
[7] Dipetik dari William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008, p.
244.
[8] Disarikan dan dialihbahasakan dari Rev. Canon A. E.
Brooke, D.D., A Critical and Exegetical
Commentary On The Johhannine Epistles, (Edinburgh: T&T Clark,1996), p.181
[9] dipetik dari Stoot JRW, The Epistles of John; An Introduction and Commentary, Lodon: The
Tyndale Press, p. 219.
[10] Dipetik dari William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008, p.
245.
[11] Disarikan dan dialihbahasakan dari Matthew Henry, Matthew Henry’s Commentary On The Bible
Volume 6: Acts to Revelation, (USA: Hendrickson Publishers, 1991), p. 889
[12] disarikan dan dialihbahasakan dari Geoffrey W.
Bromiley, The International Standard
Bible Ensyclopedia, (Michigan: William B. Eerdman Publishing Company,
1998), p.550
[13] Disarikan dari Stoot JRW, The Epistles of John; An Introduction and Commentary, Lodon: The
Tyndale Press, p. 219.
[14] Dipetik dari William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008, p.
245.
[15] Disarikan dan dialihbahasakan dari I. Howard Marshal, The Epistles Of John, (USA:William B.
Eerdmans Publishing Company, 1990), p. 11
[16] Dipetik dari Stoot JRW, The Epistles of John; An Introduction and Commentary, Lodon: The
Tyndale Press,1969, hal 216.
Komentar
Posting Komentar