Sedikit coretan pengalaman serta permenungan pribadi dalam rangka HUT RI ke 67. Mari bagi yg berkenan, silahkan dibca. hehehe:
Sebentar lagi dalam hitungan jam saja, bangsa Indonesia akan segera memasuki hari ulang tahun kemerdekaannya yang ke 67. Seiring dengan bertambahnya usia bangsa ini, banyak warga negara yang merayakan kemerdekaan bangsa ini dengan hujatan kepada pemerintah dan wakil rakyat yang kian korup dan tidak bisa memperjuangkan kemerdekaan bangsa yang benar-benar merdeka.
Seolah hopeless, "siapa pun yang bakal jadi pemimpin, toh bakal begitu-begitu saja!"
dalam sebuah kesempatan, saya mengikuti sebuah Seminar Nasional yang bertemakan "Malunya jadi orang Indonesia". dalam salah satu sesi, Butet Karteradjasa (tokoh budayawan Nasional) yang terkenal juga dalam program Televisi "Sentilan-Sentilun" yang tayang di MetroTV-- memberikan materi diskusi dengan judul "Menunda Pembusukan melalui tindakan Kecil".
saat itu Pdt. Yahya Widjaya, Ph.D memberikan tanggapan sentilan yang cukup menarik, "Jika saat ini bangsa Indonesia sedang membusuk, kira-kira seperti apa keadaan bangsa Indonesia yang tidak busuk!? sehingga bisa jelas modelnya untuk bisa dicapai!"(red)
Dalam kesempatan yang berbeda, saya juga mengikuti sebuah Talk Show di GKI Wongsodirjan tentang hidup berbangsa dan bernegara. Saat itu Pdt. Paulus Sugeng Widjaja, Ph.D mengajak kita untuk tidak hanya fokus pada pemberitaan media yang membahas tindakan-tindakan korup pemimpin bangsa saja, tetapi juga melihat akan hal-hal baru dan positive dari bangsa Indonesia yang juga sedang terjadi. (hal ini agar kita tidak jatuh dalam sebuah pandangan yang berat sebelah atas bangsa kita sendiri, dan belajar untuk melihat secara lebih berimbang).
Pak Paulus juga mengajak kita untuk tidak hanya melihat korupsi besar-besaran yang menjadi pengabaran media saja. Sebagai warga negara, kita juga perlu melihat pelanggaran-pelanggaran kecil yang kita buat seperti melanggar lampu merah, korupsi kecil-kecilan (waktu, dikelas, komunitas masyarakat, gereja/tempat2 ibadah).
Dalam pembahasan tentang militer Indonesia, pak Paulus memberikan sebuah gambaran yang sangat menarik bagi saya tentang kekuatan Indonesia yang belum menjadi konsentrasi untuk diperdalam. Dulu saat heboh "ganyang Malaysia", banyak sekali warga Indonesia yang mempertanyakan akan kekuatan militer Indonesia yang "masak kalah sama Malaysia yang negaranya kecil?"
begitu juga dengan banyaknya anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk latihan militer! (bukan salah!) tapi fokus kebanyakan kita hanya pada kekuatan yang tampak saja!
Hal ini juga kita temui dalam pelajaran-pelajaran sejarah dibangku sekolah. Nama-nama pahlawan yang tercatatat dan dipelajari kebanyakan adalah nama-nama orang yang berperang secara militer, padahal ada banyak sekali pahlawan yang berjuang tidak secara militer melainkan secara diplomasi untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa. (sayang saya tdk mencatat nama-nama pahlawan hebat yang dicontohkan oleh pak Paulus, kecuali Lambertus Nicodemus Palar yang berjuang secara diplomasi memperjuangkan pengakuan Internasional serta pengakuan Belanda atas kedaulatan dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Ia berhasil dan menjadi wakil Indonesia pertama di PBB. Nir Kekerasan! :) )
Ya.. Indonesia memang juga perlu meningkatkan dan mengasah kemampuan diplomasinya. Saat ini, kemampuan diplomasi menjadi sangat menurun pada generasi saat ini. Kebiasaan membeli barang di mall/supermarket dengan harga yang pass dan tidak bisa ditawar, adalah salah satu pembiasaan ketidakmampuan teknik diplomasi generasi sekarang. bandingkan dengan saat kita membeli di pasar tradisional yang sering menerapkan tekning tawar menawar. Intinya bukan hanya militer yang jadi konsentrasi, tapi diplomasi itu juga penting bahkan sangat penting!!!
Terakhir soal Indonesia sebagai negara agamis. Toh mayoritas masyarakat Indonesia akan setuju bahwa negara ini adalah negara yang Pancasilais dan agamis juga! setuju kan saudara? hehehe..
namun sayangnya, klaim Agamis dari negara ini justru tidak diikuti oleh moralitas bangsa yang baik pula? Ada apa dengan realitas demikian? bukankah AGAMA dan MORALITAS bisa saling berhubungan satu dengan yang lain????
coba kita bandingkan dengan negara-negara lain yang tidak mengklaim diri mereka sebagai negara yang Agamis, kog bisa yah Moralitas mereka lebih baik? artinya lebih sedikit kita jumpai tindakan-tindakan korup dari negara tersebut???
pada akhirnya saya cuma memberikan sebuah usulan kecil, jika digambarkan media bahwa negara ini memang sedang terpuruk, maka jawabannya: Ya! namun ditengah keterpurukan ini kita harus tetap mempunyai pengharapan! sama seperti Bangsa Israel ketika berada di pembuangan. Ditengah keterpurukan bangsanya, mereka tetap menaruh pengharapan mereka kepada Tuhan, bahkan semangat berpengharapan ini terus menerus menjadi corak teologi orang Yahudi sampai sekarang..
Indonesia memang bukan Israel/ Yahudi, namun poin mempunyai pengharapan toh juga adalah nilai universal yang bisa kita pakai bersama. itu pun bukan hanya sebagai orang yang berpengharapan tanpa usaha, tetapi mulailah dari diri kita masing-masing sebagai agen trasformasi bangsa. mulai dari hal-hal kecil. Saya tidak melanggar lalu lintas karena takut ditilang Polisi, tapi karena sebagai orang yang mempunyai nurani saya memang perlu menaati aturan tersebut.
saya melakukan kebaikan bukan karena takut masuk neraka/ dilarang agama! melainkan karena saya cinta akan kebaikan.
Mengutip Pak Paulus Sugeng, kata kuncinya "Kebaikan itu bukan eksternal! tapi INTERNAL! dari DALAM dan bukan karena dari LUAR yang mempengaruhi."
perlahan-lahan pendidikan karakter ini akan jadi nilai bangsa ini.
Selamat HUT Kemerdekaan RI! Dirgahayu Bangsaku!
Uis Neno Nokan Kit. MERDEKA!
Nyong Addy Lado. :)
Komentar
Posting Komentar