Langsung ke konten utama

Berbahagialah Kamu!


(sebuah tafsiran dari ucapan bahagia Yesus dalam seri Khotbah di Bukit kitab Matius 5:1-12)

Pendahuluan
Dalam paper singkat kali ini, saya memilih Ucapan Bahagia yang diucapkan oleh Yesus dalam seri khotbah di bukit yang dimuat dalam Injil Matius 5:1-12. Di dalamnya saya membahas perikop ini berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang muncul ketika saya membaca perikop tersebut secara lebih cermat (close reading). Metode tafsir yang saya gunakan dalam paper ini akan mengarah kepada metode tafsir Kritik Bentuk, dimana saya akan mengamati jenis dan kedudukan teks dalam kehidupan. Selain itu juga tidak menutup kemungkinan ada model tafsir lain yang saya pakai apabila menemukan sesuatu yang menarik di dalamnya. Tafsiran kali ini saya mencoba mengulasnya ayat demi ayat.
Khotbah di Bukit
5:1 Ketika Yesus melihat orang banyak itu, naiklah Ia ke atas bukit dan setelah Ia duduk, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya.
5:2 Maka Yesuspun mulai berbicara dan mengajar mereka, kata-Nya:
Sebelum kita membahas mengenai isi dari Ucapan Bahagia yang menjadi topik utama kita pada kesempatan kali ini, saya tertarik untuk mencari penjelasan lebih jauh mengenai maksud ‘bukit’ yang dipakai sebagai seting atau latar dalam seri khotbah di bukit ini. Ellen G. White dalam bukunya “Thought from the Mount of Blessing” menjelaskan bahwa empat belas abad sebelum kelahiran Yesus di Betlehem, orang-orang Israel berkumpul di lembah Sikhem yang indah, dan dari bukit-bukit di sebelahnya suara-suara para imam terdengar menyatakan berkat-berkat dan kutukan-kutukan. Bukit-bukit yang dari mana berkat-berkat diucapkan ini menjadi terkenal sebagai bukit berkat. Namun bukit yang kali ini dipakai oleh Yesus bukanlah bukit yang selama ini dipakai. Hanyalah sebuah bukit yang tidak bernama dekat Danau Galilea, di mana Yesus mengucapkan kata-kata berkat kepada murid-murid-Nya dan orang banyak.[1] Dalam injil Matius, Yesus sendiri sering mendaki lereng bukit untuk mengajar, berdoa, atau sekadar untuk menyendiri (Mat 14:23, 15:29, 17:1-2, 24:3, 28:16).
Bukit atau gunung (Inggris: mount; Yunani: o;roj) mendapatkan tempat yang penting dalam Injil. Kita dapat menemukan gunung dalam kisah pencobaan Yesus Kristus (4:8), Khotbah di bukit (yang saat ini kita bahas), gunung tempat Yesus mengubah rupanya dihadapan tiga orang muridNya (17:1), dan gunung/bukit tempat berpisahnya Yesus dengan para pengikutNya (28:16)[2]. Jika kita perhatikan, kisah Yesus saat ini bisa kita sejajarkan dengan Musa yang naik ke gunung Sinai untuk mendengarkan firman Allah dan menyampaikannya kepada umat Israel (lih Kel. 19).
Ketika sampai di atas bukit, maka Yesus pun duduk dan mengajar. Dalam tradisi Yahudi, jika seorang rabi Yahudi akan mengajar secara resmi, maka ia akan duduk dan menyampaikan pengajarannya. Dengan kata lain, tindakan Yesus untuk duduk dahulu sebelum mengajar adalah tindakan yang melambangkan bahwa pengajarannya adalah sesuatu yang sangat penting dan bersifat resmi. Matius pun selanjutnya mengatakan bahwa Yesus mulai berbicara dan mengajar mereka. Ungkapan ‘Yesus mulai berbicara’ dalam bahasa Yunani mempunyai arti yang rangkap:[3]
Yang pertama, dalam bahasa Yunani ungkapan ini dipakai sebagai ungkapan yang menunjukan ucapan yang penuh wibawa, serius dan khidmat. Contohnya dalam menyampaikan ucapan-ucapan ilahi. Atau bisa juga dipakai sebagai pendahuluan terhadap perkataan-perkataan yang sangat penting. Yang kedua, ungkapan ini dipakai untuk seorang yang membuka isi hatinya dengan tulus ikhlas, dan melahirkan atau mengutarakan segala sesuatu yang ada dalam pikirannya. Ungkapan ini dipakai dalam sebuah bentuk pengajaran yang bersifat akrab (yang saling terbuka).
Beranjak dari pemahaman ini, maka khotbah dibukit bukan merupakan pengajaran biasa. Melainkan merupakan hal-hal yang sangat pokok, yang harus dihormati dan bersifat serius.[4] Yesus sendiri dalam khotbah dibukit menunjukan kesediaannya untuk membuka hati dan pikiranNya kepada semua orang yang akan menjadi tangan kananNya di dalam menunaikan tugas-tugasNya.
Sebelum kita masuk dalam pembahasan mengenai ucapan berbahagia, saya tertarik untuk mengulas penjelasan Barclay mengenai ungkapan Berbahagialah! Pertama, ucapan ‘Berbahagialah’ mempunyai bentuk dan urutan kata-kata yang seragam. Di dalamnya kita tidak dapat menemukan satu kata kerjapun. Di dalam bahasa aslinya, ucapan-ucapan tersebut tidak tertulis dalam bahasa Yunani, melainkan dalam bahasa Aram. Yesus pada waktu itu berbicara memakai bahasa Aram karena bahasa tersebut merupakan bahasa yang secara umum dipakai pada saat itu. Bahasa Aram mirip dengan bahasa Ibrani, dan cara-cara pengungkapannya juga sama pula. Ucapan berbahagia ini sebenarnya bukan kalimat-kalimat biasa, melainkan kalimat-kalimat seru(!) jika kita terjemahkan ke bahasa Indonesia, maka akan lebih tepat bila ditambahkan kata seru ‘O’. Dengan demikian pada redaksi kalimatnya, kita akan mempunyai ucapan seruan sebagai berikut: “O, berbahagialah....”
Pemahaman yang demikian sangatlah penting, oleh karena hal itu membawa kita pada pemahaman yang benar tentang ucapan-ucapan berbahagia tersebut. Ucapan-ucapan itu ternyata bukanlah suatu harapan tentang apa yang akan terjadi. Ucapan-ucapan itu bukanlah nubuat tentang keadaan yang akan datang, yang menarik serta menghiburkan hati. Namun ucapan-ucapan tersebut lebih merupakan seruan ucapan selamat tentang apa yang terjadi. Kebahagiaan itu bukanlah suatu kebahagiaan yang masih harus ditunda ke waktu yang akan datang. Kebahagiaan berkat itu adalah kebahagiaan yang ada sekarang dan disini. Dengan demikian maka ucapan-ucapan ‘Berbahagialah’ tersebut sebenarnya ingin mengatakan: “O, betapa bahagianya menjadi pengikut Kristus”, “O, alangkah bahagianya orang yang mengenal Yesus Kristus sebagai juruselamat dan Tuhan”, dst. Ungkapan ini merupakan pernyataan kesukacitaan sebagai pengikut Kristus.
Yang kedua, kata ‘Berbahagialah’ merupakan sebuah kata khusus dalam ungkapan bahasa Yunani, yaitu kata Makarios (Maka,rioj) yang adalah kata khusus untuk menerangkan para dewa. Orang Yunani selalu menyebut nama Siprus dengan sebutan He Makaria yang artinya Pulau Bahagia. Mereka melakukan itu karena mereka percaya bahwa pulau Siprus sangat indah, kaya dan subur, sehingga setiap orang yang hidup disana tidak perlu pergi jauh untuk menemukan kehidupan yang bahagia dan sempurna.
Kebesaran dari ucapan ‘Berbahagialah’ di dalam Khotbah di Bukit adalah bahwa ucapan-ucapan itu bukan merupakan sesuatu yang kosong mengenai masa depan yang indah. Ucapan-ucapan itupun bukanlah janji-janji yang muluk-muluk tentang masa depan yang masih menjelang. Tetapi ucapan-ucapan itu merupakan teriakan kemenangan, karena adanya kesukacitaan tetap yang tidak akan pernah bisa diambil atau dibinasakan oleh apapun yang ada didunia ini.[5]
Lalu yang menjadi pertanyaan lanjutan adalah, untuk siapa ucapan ini diucapkan? Pada waktu itu para pemimpin agama yakni para Rabi (Guru) dan ahli-ahli taurat bangsa Israel, memberikan pengajaran sebagai berikut: “Berbahagialah orang yang kaya jiwanya, sebab ia akan mendapatkan tempat di Firdaus”.[6] Namun pengajaran Yesus justru sangat kontras dengan ajaran sebelumnya, maka sepertinya sudah jelas bahwa saat ini ucapannya tidak ditujukan kepada orang-orang yang sudah mengira bahwa mereka telah berbahagia dan selamat tanpa Tuhan, tetapi ditujukan kepada orang-orang yang merasa amat celaka dan amat sengsara karena tanpa Tuhan.
Berbahagialah!
5:3 "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.
Pernyataan atau ucapan ini merupakan sesuatu yang mengherankan bagi saya. Bukankah bagi mayoritas orang, kekayaanlah (baca: kemewahan) yang menjadi ukuran dalam kebahagiaan? Kog Yesus justru menandai (menghimbau?) orang yang miskin dihadapan Allah sebagai orang yang berbahagia? Untuk itu saya ingin menyajikan terlebih dahulu makna mendalam dari kata miskin yang dipakai dalam teks ini. Dalam bahasa Yunani, terdapat dua ungkapan yang menunjuk pada arti miskin. Yang pertama adalah penes, menunjuk pada orang yang tidak mempunyai kelebihan apa-apa, tidak kaya, tetapi juga tidak miskin. Dan yang kedua adalah ptokhos (ptwco,j) yang berarti kemiskinan mutlak dan yang mengharukan. Kata ini mempunyai hubungan dengan asal kata ptossein yang berarti ‘membungkuk’ atau ‘berjongkok’. Ini mau menggambarkan wujud kemiskinan yang amat sangat. Sebagaimana yang sudah kita ketahui sebelumnya bahwa ucapan-ucapan ‘Berbahagialah’ yang terdapat dalam Khotbah di bukit itu merupakan kata yang ditulis dalam bahasa Aram, dan orang Yahudi sendiri mempunyai cara yang khusus untuk memakai kata miskin, maka mari kita lihat bagaimana perkembangan makna dari ungkapan tersebut. Dalam bahasa Ibrani (yang mirip dengan bahasa Aram) terdapat dua ungkapan juga yang menunjuk pada terjemahan miskin. Kata tersebut adalah ‘ani atau ebion. Kata-kata ini mengalami empat tahap perkembangan makna:
Kata-kata tersebut mulai dengan makna sederhana yaitu miskin. Kata-kata tersebut berkembang mengandung makna, karena miskin maka tidak mempunyai pengaruh atau kuasa atau penolong atau martabat. Selanjutnya kata-kata tersebut mengandung makna, karena tidak mempunyai pengaruh maka menjadi nista, merana, papa dan tertindas oleh orang lain. Akhirnya kata-kata tersebut menerangkan tentang orang yang karena tidak mempunyai sumber harta benda apa-apa di dunia ini meletakkan nasib dan kepercayaannya kepada Allah sepenuhnya.
Jadi di dalam bahasa Ibrani, kata miskin dipakai untuk melukiskan orang yang rendah hati, yang tidak mempunyai pertolongan dan yang mengandalkan seluruh hidup dan imannya hanya kepada Allah saja. Lalu bagaimana dengan ptokhos? Baiklah, sekarang kita mengambil kedua belah pihak, yaitu pihak Yunani dan pihak Aram, serta mencoba memadukannya menjadi satu. Ptokhos menerangkan orang yang miskin secara mutlak, yaitu orang yang sama sekali tidak mempunyai apa-apa. ‘Ani dan Ebion menerangkan orang yang miskin, rendah, tidak mempunyai pertolongan serta yang hanya mengandalkan dan percaya kepada Allah saja. Oleh karena itu ungkapan “Berbahagialah orang yang miskin dihadapan Allah” berarti “Berbahagialah orang yang mengetahui kenestapaan dan ketidak tertolongannya, serta yang percaya dan mengandalkan Allah saja,” Dalam Terjemahan Baru Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari, terjemahan dari ayat ini nampaknya sudah semakin jelas. "Berbahagialah orang yang merasa tidak berdaya dan hanya bergantung pada Tuhan saja; mereka adalah anggota umat Allah!.
Kerajaan Allah adalah milik mereka yang miskin di hadapan Allah, karena mereka itulah yang mengetahui kelemahan, kenistaan dan ketidak-mapuan mereka jikalau tanpa Allah, dan karena mereka telah belajar untuk percaya dan setia kepada Allah. Ucapan berbahagia yang pertama itu sebenarnya berarti: “Oh, berbahagialah orang yang mengetahui kelemahan, kenistaan, dan ketidak mampuannya sendiri, dan yang menaruh seluruh percaya dan mengandalkan diri hanya kepada Allah saja, karena hanya dengan cara demikian ia dapat menyampaikan ketaatannya yang sempurna kepada Allah, dan karena itu Allah akan menjadikannya sebagai warga kerajaan Sorga.
5:4 Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.
Yang pertama ketika saya (mungkin juga kita semua) membaca teks ini, saya menjadi berpikir bahwa bagi kita yang berdukacita, saat itu akan mendapatkan penghiburan dari Tuhan. Pertanyaan lanjutan saya adalah, lalu berdukacita yang seperti apa?. Untuk itu saya mencoba menyoroti ayat ini dari kata ‘berdukacita’nya terlebih dahulu. Dalam bahasa Yunani, kata berdukacita (penqe,w) berarti berdukacita yang sangat kuat! Kata tersebut dipakai untuk menunjukan kedukacitaan karena kematian, atau ratapan duka cita karena musibah terhadap orang yang sangat dikasihi. Dalam PL berbahasa Yunani, kata ini juga dipakai untuk melukiskan Yakub yang berdukacita mendengar anaknya Yusuf meninggal (Kej 37:34). Bukankah akan mengherankan juga jika ayat ini kemudian diterjemahkan seperti: “Berbahagialah orang yang berdukacita sama seperti orang yang berdukacita karena kematian”. Untuk itu, menurut Barclay, ada 3 cara untuk mengerti ucapan bahagia ini:[7]
Ucapan itu bisa dipahami secara hurufiah: Berbahagialah orang yang telah dapat tahan berdiri menghadapi kesedihan yang paling pahit yang dibawa oleh hidup ini. Kesedihan bisa membawa dua hal dalam kehidupan kita. Yang pertama, menunjukan kebaikan esensial dari sesama kita manusia. Kedua, kesedihan dapat menunjukan penghiburan dan belas kasihan Allah. Banyak orang yang justru di dalam saat-saat kesedihan, menemukan sesamanya dan Allahnya seperti yang belum pernah ia temukan sebelumnya. Berikut ini ada sebuah puisi mengenai kenikmatan dan kesusahan hidup:
Aku berjalan bersama kenikmatan,
Kenikmatan itu berbicara terus sepanjang jalan,
Dan aku tidak kebagian kebijaksanaan apa-apa,
Karena semuanya telah diucapkannya.
Aku berjalan bersama kesedihan,
Dan tidak ada sepotong kata pun yang diucapkannya,
Tetapi, oh, betapa banyak hal yang aku pelajari daripadanya,
Ketika kesedihan berjalan bersama aku.
Ada pendapat lain yang menghayatinya secara demikian: “Berbahagialah mereka yang benar-benar menyesal atas kesedihan dan penderitaan di dunia ini.” Kalau kita ingat kembali akan makna ‘berbahagialah’ yang pertama, maka kita kita melihat bahwa orang yang memisahkan diri dari hal-hal harta benda adalah orang yang dianggap benar, dan sebaliknya orang yang memisahkan diri dari sesama manusia dianggap sangat keliru. Kekristenan adalah soal memperhatikan. Dengan demikian ucapan ‘berbahagialah’ ini benar-benar berarti: “Berbahagialah orang yang dengan sungguh-sungguh memperhatikan penderitaan, kesedihan dan keperluan orang-orang lain.”
Kekristenan mulai dengan kesadaran tentang dosa. Maka berbahagialah orang-orang yang secara sungguh-sungguh menyesali akan dosa-dosanya. Orang-orang yang berpengalaman seperti inilah yang akan dihiburkan. Pengalaman seperti yang kita sebut penyesalan pertobatan. Jalan menuju kesukacitaan pengampunan adalah melewati kesedihan dan kehancuran hati yang mendalam. Makna yang sebenarnya dari ucapan ‘Berbahagialah’ yang yang kedua itu adalah: ‘Oh, berbahagialah orang yang hancur hatinya karena penderitaan dunia dan penderitaan dosanya sendiri, karena dari kesedihan seperti itu ia akan menemukan kesukacitaan Allah.
Secara sederhana, saya menarik sebuah kesimpulan bahwa jelas konteksnya saat ini adalah mereka yag dijanjikan akan dihibur karena kesedihan yang ia alami. Ini menerangi jalan pikiran saya bahwa hidup Kristen menurut Yesus bukanlah semata-mata terdiri dari kegembiraan dan gelak tawa saja!. Ada orang Kristen yang menyangka , istimewa jika mereka dipenuhi dengan sukacita, sehingga tidak mau membiarkan sukacita itu hilang dari dirinya, dan bahwa mereka harus tertawa dan berhaleluya senantiasa.
Jika kita perhatikan dalam teks Lukas (walaupun memang saat ini kita tidak membicarakan mengenai kitab Lukas) Khotbah Yesus di bukit justru menambahkan satu peringatan serius pada maklumat bahagia ini, “Celakalah kalian yang tertawa sekarang ini;” (Lukas 6:25). Yang benar ialah bahwa ada air mata Kristiani, dan terlalu sedikit dari antara kita yang pernah mencurahkannya.[8]
5:5 Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi.
Menurut Michael Green dalam bukunya The Message of Matthew, latar belakang dari ayat ini adalah Mazmur 37:11 “Tetapi orang-orang yang rendah hati akan mewarisi negeri….” Ini adalah sesuatu yang revolusioner. Yesus tidak mengatakan negeri ini akan diberikan kepada orang-orang yang bijak atau yang kuat, tetapi untuk mereka yang begitu kecil di hadapan Allah (maksudnya orang yang rendah hati), sehingga Tuhan akan meninggikan mereka tanpa bahaya apapun.[9] Kelemahlembutan juga ditekankan oleh penulis Injil Matius sebagai karakteristik dari pelayanan Yesus (11:29; 12:15-21;21:5)[10]
Kata lemah lembut biasanya kita pahami sebagai kata yang menunjuk kepada sikap rendah, hina, papa dan bahkan orang yang jiwanya tidak memiliki semangat. Lemah lembut juga dipakai untuk melukiskan orang yang kurang terampil, kurang cekatan dan lamban. Tetapi kata lemah lembut (Yunani: Praus) adalah kata yang mengandung makna etis yang besar bagi orang-orang Yunani. Menurut John R. W. Stott, praus berarti lembut, rendah hati, baik budi, sopan, dan karena itu mengandung perhatian penguasaan diri, tanpa mana kualitas-kualitas ini mustahil ada.[11]
Untuk itu dalam menjelaskan makna kata ini, sepertinya kita bisa melihat kisah dari Aristoteles. Aristoteles pernah secara panjang menguraikan makna atau mutu dari lemah lembut. Cara yang selalu dipakai olehnya untuk mnerangkan nilai-nilai kehidupan adalah dengan cara mempertentangkan dua pendapat atau pengertian yang ekstrim. Di antara kelebihan dan kekurangan itulah terdapat nilai tengah atau nilai baik, yaitu jalan tengah yang menggembirakan. Contohnya, sikap ekstrim pemboros dan sikap ekstrim kikir. Diantara keduanya inilah terdapat sikap yang baik yaitu murah hati. Aristoteles mendefinisikan lemah-lembut (praotes) seabgai sikap diantara orgilotes (gampang dan suka marah) dan aorgesia (sama sekali tidak bisa marah). Oleh karena itu, Praotes atau lemah lembut adalah sikap tengah yang selalu gembira, yaitu sikap di antara ekstrim terlalu banyak marah dan ekstrim terlalu sedikit marah. Jadi salah satu kemungkinan terjemahan untuk ucapan ‘Berbahagialah’ ini adalah “Berbahagialah orang yang selalu marah tepat pada waktunya, dan tidak pernah marah pada waktu yang salah”[12]
Mengenai ungkapan “mereka akan memiliki bumi”, saya mengambil kesimpulan bahwa orang yan mempunyai kesabaran dan perasaan yang terkendalikan, karena ia sendiri hidup dibawah kendali Allah, dan karena ia mempunyai kerendahan hati untuk mengakui kelemahannya sendiri, maka orang yang seperti itulah yang adalah raja bagi sesamanya.
5:6 Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan.
Ucapan ini akan memberikan kesan yang berbeda kepada orang yang mendengarnya untuk pertama kali, ketimbang kesan yang kita terima saat ini. Pada zaman Yesus, tidak sedikit orang yang harus menahan lapar dan haus dalam kehidupannya sehari-hari karena kurangnya materi yang dimiliki. Selain jumlah penghasilan bagi kaum kecil yang sangat minim, ketersediaan air bersih juga sangat sedikit. Untuk mengambil air maka orang harus menempuh perjalanan yang jauh, melalui jalan yang berdebu, bahkan kadang-kadang disertai angin panas yang kencang. Dalam keadaan begitu, seseorang tidak dapat berbuat lain kecuali menutupi kepalanya dengan kain penutup kepala, dan memalingkan diri membelakangi angina serta menunggu sampai angina reda. Sementara itu butir-butir pasir dan debu akan memenuhi hidung serta kerongkongannya. Kalau hal ini terjadi cukup lama, orang tersebut dapat mati lemas. Kita dapat membayangkan betapa haus dan dahaganya orang yang demikian itu.[13]
Jadi, konteks kelaparan dan kehausan yang dilukiskan dalam teks ini bukanlah kelaparan dan kehausan biasa yang dengan mudahnya dipulihkan dengan sepotong roti dan setetes air. Kelaparan yang dimaksud adalah kelaparan yang sudah mencekam, berlarut-larut dan menyengsarakan. Kehausan yang dimaksudkan juga adalah kehausan yang bisa membawa kematian, kecuali kalau orang yang haus itu segera mendapatkan minuman. Oleh karenanya, saya kira-kira bisa menangkap kesan yang dialami oleh orang yang mendengar ucapan ini pada saat itu.
Namun konteksnya saat ini adalah orang yang lapar dan haus akan kebenaran. Ini bukanlah sesuatu yang mennyangkut fisik saja, melainkan juga secara spiritual. Sehingga kira-kira bisa diusulkan sesuai tafsiran kita: “O, berbahagialah orang yang merindukan kebenaran total seperti seorang yang amat sangat kelaparan dan seperti orang yang hamper mati karena kehausan, karena orang yang demikian itu akan benar-benar dipuaskan”
5:7 Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan.
Ayat ini mungkin merupakan salah satu ucapan ‘Berbahagialah’ yang disenangi dan paling sering menjadi bahan penekanan dalam kehidupan Kristen. Ya! Ucapan ini merupakan dasar yang terdapat di dalam seluruh Perjanjian Baru. PB selalu menekankan bahwa untuk diampuni kita harus juga mengampuni. Yakobus mengatakan: “sebab penghakiman yang tak berbelas kasihan akan berlaku atas orang yang tidak berbelas kasihan” (Yak 2:13). Yesus mengakhiri cerita tentang orang yang menghutangkan uang dan yang tidak mau mengampuni, dengan peringatan sebagai berikut: “maka BapaKu yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaraku dengan segenap hatimu” (Mat 18:35). Doa Bapa Kami pun juga menekankan akan hal ini. “Ampunilah kami akan kesalahan kami seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami”. Ini ingin menunjukan bahwa Perjanjian Baru memang secara jelas dan konsisten mengajarkan bahwa hanya orang yang murah hati saja yang akan menerima kemurahan.
Kata ‘murah hati’ dalam bahasa Yunani adalah eleemon (evleh,mwn), tetapi seperti yang sudah kita ketahui dalam pembahasan sebelumnya, bahasa Yunani dalam PB yang kita miliki ini berasal dari bahasa Ibrani atau bahasa Aram yang asli! Bahasa Ibrani untuk murah hati berasal dari kata khesed yang berarti kemampuan untuk menempatkan diri benar-benar di dalam diri pribadi orang lain, sehingga kita dapat melihat segala sesuatu dengan mata orang lain tersebut, memikirkan sesuatu dengan pikirannya dan merasakan sesuatu dengan perasaannya. Jelas bahwa menjadi orang yang murah hati (khesed) bukan saja dalam pengertiannya secara emosional dan belas kasihan saja. Jauh lebih dalam dari itu, pengertian ini meminta adanya usaha yang sengaja dari pikiran dan kehendak kita. Ini artinya simpati yang muncul bukanlah simpati yang datang dari luar, melainkan murni dari dalam usaha sengaja kita untuk mengidentifikasi diri kita dengan orang lain, sehingga kita dapat melihat segala dan merasakan segala sesuatu sebagaimana orang lain melihat dan merasakannya. Itulah arti kata simpati secara harafiah. Simpati berasal dari bahasa Yunani ‘syn’ yang berarti ‘bersama dengan’ dan paskheim yang berati mengalami atau menderita. Jadi kata simpati ini berarti mengalami hal-hal bersama dengan orang lain.
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat kita terjemahkan sebagai berikut: “Oh berbahagialah orang yang dapat masuk ke dalam diri orang lain, sehingga ia dapat melihat dengan matanya, berpikir dengan pikirannya, dan merasakan dengan perasaan orang lain tersebut, karena ia yang melakukan hal itu akan juga mengetahui bahwa hal itulah yang dilakukan Allah di dalam Yesus Kristus.
5:8 Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.
Ucapan ini menurut saya sangat menarik, sebagai orang yang memiliki hati yang suci, ia akan melihat Allah. Bagi kita sebagai pembaca, mungkin ayat ini akan membuat kita merenung sejenak dan berfikr serta menyelidiki diri kita masing-masing. Saya pun melakukannya. Untuk itu saya ingin memaparkan mengenai makna ‘suci hatinya’ dalam teks ini. Bahasa Yunani untuk suci adalah katharos (kaqaro,j) dan dapat diartikan sebagai:
Aslinya kata katharos tersebut berarti bersih, dan dapat dipakai umpamanya untuk baju yang kotor dan dicuci sehingga bersih.
Biasanya kata tersebut dipakai untuk gandum yang dibersihkan dari sekam-sekamnya dengan bantuan angin. Dengan cara yang sama kata tersebut dipakai juga untuk tentara yang terpilih, yaitu mereka yang telah dibersihkan dari tentara yang kurang efisien, penakut, serta kurang mepunyai dedikasi atau pengalaman.
Biasanya kata ini muncul disertai oleh kata sifat akeratos yang dapat dipakai untuk susu murni yang benar-benar tidak lagi mengandung air, atau barang logam yang benar-benar murni. Jadi arti dasar dari kata katharos adalah tidak tercampur, tidak mengandung benda lain, atau sama sekali murni. Itu sebabnya ucapan ‘Berbahagialah’ kali ini merupakan ucapan yang sangat penting. Jika kita coba terjemahkan, kira-kira bunyinya seperti ini: “Berbahagialah orang yang motivasi hatinya tidak bercampur aduk dengan hal-hal yang lain, karena orang yang demikian itu akan melihat Allah.”[14]
Ucapan berbahagia kali ini mengajak kita untuk benar-benar melakukan pemeriksaan diri secara jujur. Apakah selama ini kita telah melakukan kebaikan dengan motivasi yang benar tanpa bercampur aduk dengan pamrih? Menurut penalaran pop, ‘orang yang suci hatinya’ ialah orang yang suci secara batiniah, yaitu kualitas orang yang telah jauh dari kotoran-kotoran moral, dan kesucian yang dituntut secara ritual.[15]
Luther melukiskan beda antara kesucian batiniah dan kesucian lahiriah ini secara lebeih berterus terang tanpa basa-basi. Ia mempertentangkan kesucian hati bukan saja dengan kesucian ritual yang lahiriah itu, melainkan juga secara harafiah dengan kotoran fisik. Katanya, ‘Kristus… menghendaki hati yang suci, meskipun orangnya lahiriah mungkin seorang pesuruh di dapur, yang mukanya hita penuh jelaga, dan ia melakukan segala macam pekerjaan yang kotor-kotor’. Dan lagi, ‘meskipun seorang buruh kasar, seorang tukang sepatu atau seorang pandai besi bisa dari luar nampaknya kotor, hitam dan coreng-moreng, atau mungkin juga bau karena ia penuh lumpur… dan meskipun ia lahiriah berbau busuk, namun batiniah ia laksana harum semerbak korban wangi-wangian di hadapan Allah’, sebab dalam hatinya ia dengar-dengaran kepada Firman Allah serta mematuhinya.[16] Ungkapan Luther ini tentunya senafas dengan seluruh Khotbah di Bukit, yang lebih menekankan atau menuntut keikhlasan hati dari pada ketaatan secara harafiah kepada hukum atau ritus yang ada.
5:9 Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.
Mari kita lihat arti damai dalam teks ini. Kata damai dalam bahasa Yunani adalah eirene, sedangkan dalam bahasa Ibraninya adalah Shalom. Dalam bahasa Ibrani, damai tidak hanya berarti suatu keadaan negatif. Damai juga tidak pernah berarti bahwa tidak adanya persoalan atau kesulitan. Dalam bahasa Ibrani, damai selalu berarti segala sasuatu yang membuat dan membawa kebaikan bagi manusia.
Kemudian kita perlu dengan sungguh-sungguh mencatat apa yang hendak diucapkan didalam ucapan ‘Berbahagialah’ ini. Kesukaan-berkat yang dimaksud oleh ucapan tersebut adalah kesukaan-berkat yang ada pada orang-orang yang membawa damai. Jadi tidak selalu berarti kesukaan-berkat padas orang-orang yang cinta damai. Sangat sering terjadi bahwa orang-orang yang cinta damai melakukan tindakan yang salah, sehingga ia malah membawa kesusahan dan bukan perdamaian. Kita ambil contoh diri kita sendiri. Kitab bisa saja mebiarkan situasi yang sangat berbahaya dan mengancam diri kita berkembang sedemikian rupa; dan sebagai usaha kita untuk mempertahankan diri demi perdamaian, kita malah tidak melakukan sesuatu.
Di dalam Alkitab terdapat kata-kata anak-anak Allah. Di dalam alam pikiran Ibrani ada suatu cara yang khas untuk mengungkapkan sesuatu. Bahasa Ibrani tidak (minim) mempunyai kata sifat, sehingga orang Ibrani ingin mengatakan sesuatu, mereka akan sering memakai ungkapan yang tidak banyak memakai kata sifat. Ungkapan itu antara lain adalah anak + kata benda abstrak. Oleh karena itu, di dalam alam pikiran Ibrani ada ungkapan yang mengatakan ‘anak-anak perdamaian’ dan bukan ‘orang yang penuh dengan kedamaian’. Barnabas juga disebut sebagai ‘anak hiburan’ dan bukan ‘orang yang menghibur’ atau mensukacitakan. Berkat khusus bagi pembawa-pembawa damai adalah bahwa mereka akan disebut ‘anak-anak Allah’, sebab mereka telah berusaha melakukan apa yang telah dilakukan sang Bapa, yaitu mengasihi manusia-manusia dengan KasihNya,
Ucapan berbahagialah ini bisa diartikan seperti berikut: “Berbahagialah orang yang membawa damai (bagi sesamanya) karena mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti yang dilakukan oleh Allah.”
5:10 Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. 5:11 Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. 5:12 Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu."
Bagian ini merupakan sabda bahagia kedelapan atau yang terakhir dari seri “Berbahagialah”. Kitab Matius ini seringkali menggunakan kata ‘kebenaran’ yang Yunani-nya dikaiosune dari kata dike yang berarti benar dan adil, atau keadilan. Jika kita perhatikan baik-baik, akan terasa ganjil karena Yesus mengalihkan pembicaraan dari membawa damai ke bahasan ‘dianiaya’ (dari usaha merekonsiliasi ke pengalaman dimusuhi). Namun inilah yang menjadi sorotan bahwa pada akhirnya juga akan ada orang yang memusuhi bahkan sampai mencelakai kita karena mengikut Yesus. Kata dianiaya berasal dari kata dediogmenoi yang berasal dari kata dioko yang berarti dengan cara apapun melecehkan, menyiksa, dan membuat orang menderita.
Ucapan “Berbahagialah” yang terakhir ini menurut saya semakin jelas dan mengaminkan pembahasan kita pada arti kata “mulai berbicara” yang menerangkan bahwa ketika Yesus mengajar, perkataan dan ajaran yang ia ucapkan itu adalah sesuatu yang serius serta namun juga merupakan sebuah bentuk pembicaraan yang terbuka. Yesus sendiri dalam khotbah dibukit menunjukan kesediaannya untuk membuka hati dan pikiranNya kepada semua orang yang hadir disitu. Dimana terdapat keterbukaan antar Yesus sebagai orang yang berbicara dan orang-orang yang mendengar. Ia jujur dan terbuka bahwa ketika seseorang memutuskan untuk mengikutiNya, maka konsekuensi yang besar telah menantinya di depan (sama seperti nabi-nabi sebelumnya telah menderita) tentunya dari sini dituntut sebuah kesetiaan yang total dari setiap orang.
Refleksi Teologis (Penutup)
Setelah membahas secara singkat mengenai seri khotbah di bukit dalam kitab Matius ini, saya mencoba berefleksi, bercermin dalam kehidupan kita saat ini. Memang sebelumnya saya juga sudah langsung menyinggung sedikit refleksi saya dalam penafsiran yang saya lakukan, sehingga kali ini saya akan mengungkapkannya dengan singkat. Sebenarnya selama mengerjakan tafsir ini, saya sudah mempunyai pola awal dalam pikiran saya bahwa “ucapan berbahagialah” yang akan saya bahas ini adalah perikop yang melegakan dan dekat dengan orang-orang yang pada saat itu tidak diperhitungkan, atau kepada orang-orang yang benar-benar haus dan ingin dekat dengan Tuhan, yang menggantungkan hidupnya hanya kepada otorita Tuhan. Awalnya saya sedikit bingung dengan maksud Yesus bahwa orang-orang yang susah (miskin, haus, berduka, bahkan dianiaya) yang justru disebut ‘berbahagia’. Bukankah itu adalah ungkapan yang tidak wajar? Namun ketika saya mencoba menafsirnya ayat demi ayat, saya semakin mengerti dan menangkap kedekatan Yesus dengan orang-orang yang seperti ini. Yesus pun dengan terbuka berpihak kepada mereka.
Lalu bagaimana dengan realisasi berbahagia? Seperti yang sudah saya singgung dalam pembahasan sebelumnya, ‘berbahagialah’ yang diutarakan Yesus ini bukanlah sebuah ucapan yang adalah suatu harapan tentang apa yang akan terjadi (utopis). Ucapan-ucapan itu bukanlah nubuat tentang keadaan yang akan datang saja. Namun ucapan-ucapan tersebut lebih merupakan seruan ucapan selamat tentang apa yang terjadi. Kebahagiaan itu bukanlah suatu kebahagiaan yang masih harus ditunda ke waktu yang akan datang. Kebahagiaan berkat itu adalah kebahagiaan yang ada sekarang dan disini.[17]
Perikop ini juga mengarahkan kita sebagai pengikutnya untuk selalu memperhatikan sesama kita karena dari sesama inilah kita bisa sama-sama belajar akan arti kesetiaan kita kepada Tuhan. Bukan cuma senyum dan tawa Kristiani saja yang kita dapat, namun juga air mata. Yesus sendiri dalam khotbahNya, jelas menunjukan keberpihakanNya bagi orang-orang yang lemah dan menderita. Orang yang pada saat itu menjadi orang yang tidak diperhitungkan, menjadi orang yang diperhitungkan oleh Yesus. Ada sebuah pola pandang yang telah diubah oleh Yesus pada saat itu, dan itulah yang menjadi pesan bagi kita. ***
DAFTAR PUSTAKA
Barclay, William, Injil Matius Pasal 1-10. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999)
White, Ellen G, Thoughts from the Mount of Blessing. (Bandung: Indonesia Publishing House, 1993)
Green, Michael, The Message of Matthew-The Kingdom of Heaven. (New York: Inter-Varsity
Press, 2000)
Verkuyl, J. Dr, Khotbah di Bukit (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985)
Stott, John R. W., Pemahaman dan Penerapan Amanat Alkitab Masa Kini “Khotbah di Bukit”. (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1988)
France, R,T., Tyndale New Testament. Matthew Commentaries. (England: Inter-Varsity Press, 1995)


[1] Ellen G White, Thoughts from the Mount of Blessing. (Bandung: Indonesia Publishing House), p. 9
[2] Dipetik dan dialihbahasakan ulang dari Michael Green, The Message of Matthew-The Kingdom of Heaven. (New York: Inter-Varsity Press), p.89
[3] Dipetik dari: William Barclay, Injil Matius Fasal 1-10. (Jakarta: BPK Gunung Mulia), p. 142-143
[4] serius yang dimaksud bukanlah sesuatu yang kaku, melainkan serius dalam artian bahwa itu merupakan pengajaran yang perlu mendapat perhatian yang khusus.
[5] Dipetik dari Barclay, Injil… , p.148-149
[6] Dr. J. Verkuyl, Khotbah di Bukit (Jakarta: BPK Gunung Mulia) p. 22
[7]Dipetik dari Barclay, Injil…, p. 155
[8] John R. W. Stott, Pemahaman dan Penerapan Amanat Alkitab Masa Kini “Khotbah di Bukit”. (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF) p. 47
[9] Dipetik dan dialihbahasakan dari Green, The Message…, p.90
[10] R.T. France, Tyndale New Testament. Matthew Commentaries. (England: Inter-Varsity Press) p. 110
[11] Stott, Pemahaman…, p.49
[12]Dipetik dari Barclay, Injil…, p. 158-159
[13] walaupun memang dalam konteks Indonesia, kita belum pernah mengalami hal yang semacam itu.
[14] Dipetik dari Barclay, Injik…, p. 176
[15] Dipetik dari Stott, Pemahaman…, p. 56
[16] Dipetik dari Stott, Pemahaman…, p.56-57
[17] saya jadi teringat dengan konsep kebahagiaan sebagai inti dari filsafat Confucius. Ia menekankan bahwa hidup ini segenap tujuannya adalah mencari kebahagiaan. Kebahagiaan ini bukanlah kebahagiaan di dunia seberang sana, melainkan kebahagiaan saat ini (kekinian). Lih. H.G Creel “Alam Pikiran Cina”, p. 35 dalam bahasan “Confucius dan Perjuangan untuk Mencapai Kebahagiaan Manusia”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangan Pakai Tangan Kiri Anda! Itu Contoh yang TIDAK LAYAK (?)

Halo temans, saya kembali lagi dengan tulisan barul Kali ini mengenai kebiasaan seseorang menggunakan tangan kirinya sebagai tangan utama untuk beraktivitas. Seringkali kita mengenal kebiasaan ini dengan istilah kidal/left handed.  *** Ps: Untuk membatasi lingkup tulisan ini, saya tidak akan membahas isu ini ke dalam bahasan agama tertentu. Indonesia adalah salah satu negara yang masyarakatnya cukup memegang kuat budaya atau kearifan lokalnya, salah satunya adalah budaya penghormatan kepada orang lain. Terdapat manners khusus untuk bersikap, merespon, berterimakasih, bahkan beraktivitas (sekalipun aktivitas tersebut dilakukan untuk diri sendiri, tanpa bermaksud menyinggung orang lain). To be honest, I am the person who usually use my left hand for many activities! I am left handed. So here is my perspective.   Temans, menjadi orang kidal di Indonesia seringkali mendapat perlakuan yang diskriminatif. Jika anda yang sedang membaca artikel ini juga kidal,...

Backpacker ke Singapura Sendirian II

Touch Down! Akhirnya mendarat juga di Changi International Airport! Bandara ini dinobatkan sebagai bandara terbaik di dunia lohh! Yap, bener banget. Saya sudah buktikan sendiri kalau ini emang bandara terbaik di dunia. Fasilitas di bandara memang sangat lengkap dan terkesan tidak lagi di bandara melainkan di mall-mall besar gitu. Yang paling saya suka adalah adanya kursi pijat di sisi bandara yang dapat digunakan secara gratis. Kebayang deh kalau fasilitas-fasilitas itu ada di Indonesia, pasti pada ngantri untuk dipijat gratisan. Hahaha. Kabarnya di Changi ada bioskop bagi penumpang yang transit lama atau harus menunggu penerbangannya dalam waktu yang cukup lama. Kabar baiknya, fasilitas bioskop juga di berikan secara cuma-cuma alias GRATIS kepada semua penumpang yang berada di Changi. Ooppss.. mending kita gak usah banding-bandingin dengan bandara-bandara di Indonesia deh. Itu semua masih urusan PT. Angkasa Pura I & II.  Setelah mengisi form imigrasi dari Pemerintah Singapo...