Halo semua, sorry sudah lama sekali tidak posting tulisan. Alasannya klasik sih.. Sibuk dan malas ngeshare tulisan.. #hadeh..
Oia, tanggal 15-17 Maret 2013 yang lalu, beta mengikuti Peace Camp di Trawas Jawa Timur. Acaranya asyik karena beta bisa ketemu teman-teman dari berbagai daerah di Indonesia plus 2 orang teman dari luar negeri.
Nah loh, lagi asyik-asyiknya camp, beta harus buat bahan Pengantar Pemahaman Alkitab Fakultas Teologi Univ. Kristen Duta Wacana pada tanggal 19 Maret-nya (Waduh!). Ini memang program pertama dari FTH untuk memberi kesempatan bagi mahasiswa S1 memberi Pengantar PA dan kemudian akan ditanggapi oleh Mahasiswa Pasca Sarjana atau Doktoral. (Sebelumnya PA akan dibawakan oleh Dosen dan ditanggapi oleh Dosen yang lain).
WHAT! Beta tidak membawa laptop saudara-saudara.... untunglah ada HP Cina Super Canggih yang bisa membantu beta mengetik bahan dan berdialog dengan pikiran beta, walaupun harus nyuri2 waktu saat malam atau saat sedang naik bus ke desa serta saat OTW pulang Surabaya-Jogja dengan bus EKA yang lajunya wihh buat jantung mo lepas. Hahaha...
Alhamdulilah beta bisa selesaikan dengan baik, walaupun ada kekurngan disana sini.
*Special Thanks to My <3 , teman-teman PeaceBuilding UK. Petra, Jean yang sudah merelakan APARTEMENT nya (lol), Bang Fajar, teman-teman DAMAI 20.12 UKDW yang OKE punya, dan semua orang yang sudah menginspirasi beta.*
Berikut pengantar PA dan tafsiran beta tentang perkataan Yesus yang bikin beta cukup setress.. hahahaha..
Semakin beta membenciMU, semakin beta mencintaiMU ya TUHAN.
Pengantar Pemahaman Alkitab Fakultas Teologi Duta Wacana
Matius 10: 34-42
"Jangan kamu
menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan
untuk membawa damai, melainkan pedang….” Perkataan Yesus ini sangat mengejutkan saya!
Bukankah Yesus mencintai perdamaian? Lalu mengapa Ia datang membawa
pedang? Selama ini saya (kita) mengenal Yesus sebagai orang yang dalam
kehidupanNya menolak praktik-praktik kejahatan bahkan mengajar para murid untuk
mendoakan para musuh dan orang-orang yang menganiaya? Di PA sebelumnya
pun Yesus mengajarkan kita untuk mengasihi musuh, namun juga ‘melawan musuh’
dengan cara yang cerdas serta nir-kekerasan![1] Namun mengapa sampai
pada pasal selanjutnya, Ia (menurut Matius) justru mendeklarasikan membawa
PEDANG?’
Kata ‘pedang’ (Makhaira) dalam tradisi Yunani berarti
sebuah pedang kecil atau bisa dikatakan pisau besar yang digunakan untuk
membunuh binatang dan memotong daging. Ukurannya sepanjang lengan tangan orang
dewasa, dan hanya mempunyai satu mata![2] Itu artinya, pisau ini di desain lebih untuk
memotong dan memisahkan daripada membunuh! Ini sama seperti kalewang
(pedang kecil/pisau besar bermata satu) dalam tradisi orang Timor yang
di desain khusus dengan fungsi utama memotong daging.
Ada dua macam penafsiran
(atau lebih) tentang pedang ini, yang pertama adalah Yesus datang kedunia
membawa pedang, sehingga orang yang menjadi pengikutNya mempunyai resiko
kematian (martir). Orang Kristen jangan takut mati demi Kristus. Sedangkan
tafsiran yang kedua, menafsir kata ‘pedang’ sebagai kata khas yang menunjuk pada
pemisahan atau pertentangan antara orang yang percaya maupun yang tidak
percaya. Perbedaan prinsip atau ideologis pun tidak bisa disangkal bisa
menciptakan pemisahan bahkan di dalam keluarga. Bagi saya pribadi, saya memilih
tafsiran kedua karena melihat esensi dari kata ‘makhaira’ yang adalah
pedang/pisau bermata satu! Otomatis pedang tersebut fungsi utamanya adalah sebagai
‘pisau daging’ yang berfungsi secara normal untuk memisahkan lemak, daging,
atau tulang (bisa kita lihat maksud pemisahan dari fungsi ini). Namun tidak
berarti ayat ini aman-aman saja dan tidak mengandung kontroversi. Sekalipun
‘makhaira’ bukan pedang bermata dua serta fungsi utamanya bukan untuk membunuh
manusia, kata ini erat hubungannya dengan kata ‘Makhe’ yang artinya pertarungan serta ‘Makhomai’ yang bisa diartikan peperangan!
Dari penjelasan di atas,
bukankah itu berarti bahwa Yesus datang membawa situasi yang tidak damai
(pemisahan, pertarungan, dan perselisihan). Secara narasi, saya
mempermasalahkan kata ‘pedang’ karena dekat dengan kekerasan! Atau
jangan-jangan saya yang terlalu mempermasalahkan kata ini dari kacamata saya
sebagai pembaca zaman sekarang. Tetapi yang harus di highlight dari ungkapan
ini, ayat ini bukan pada akhirnya menjadi inspirasi sebuah kejahatan! Yesus tidak
sedang ‘menginspirasi’ sebuah praktik kejahatan, melainkan sebuah tantangan
loyalitas murid-muridNya kepada Yesus.
Berlanjut kepada ayat
yang berikutnya, saya semakin marah kepada Yesus karena dengan serta merta
Yesus kembali menegaskan bahwa Ia datang untuk memisahkan anak laki-laki dengan
ayahnya, anak perempuan dengan ibunya, dan seterusnya, bahkan sampai kepada
bahwa musuhnya adalah orang-orang seisi rumahnya. “Apaaa? Yesus datang untuk
memisahkan saya dengan orangtua dan keluarga saya??? Pung enak laii! (enak aja)
Siapa yang mau dipisahkan dengan orangtua dan keluarganya karena Yesus? Secara
pribadi saya tidak mau!
Daniel Harrington dalam
buku tafsirnya menjelaskan bahwa dalam masyarakat Yahudi dari zaman Yesus,
ikatan keluarga sangatlah erat, beda dengan zaman modern seperti sekarang.
Tetapi kesetiaan terhadap Yesus dapat mencakup perpecahan ikatan ini.
Pernyataan ini bukanlah menentang keluarga sebagai keluarga, melainkan bahwa
para murid hendaknya mempunyai loyalitas yang lebih besar kepada Yesus daripada
kepada anggota keluarga mereka.[3] Dari penjelasan ini,
saya mulai mempertanyakan kembali kekesalan saya sebelumnya serta maksud dari
‘pemisahan’ yang dimaksudkan Yesus. Agaknya masuk akal apabila kita diingatkan
Yesus untuk tetap berpegang kepada kebenaran sekalipun itu harus berhubungan
langsung dengan keluarga sendiri! Bahwa kekeluargaan di sini menjadi relatif
dan bahwa kebenaran pun menembus sekat-sekat primordialis atau kelompok! Ini
juga menegaskan kepada kita bahwa dalam ikatan sedarah pun, bisa terjadi
‘persebrangan’. Contohnya seperti kasus korupsi, bila saya sebagai pemegang
kekuasaan dan kebetulan ayah saya sebagai pelaku korupsi di DPR, maka sebagai pihak yang berkuasa, saya
akan menggunakan kekuasaan saya untuk melindungi beliau. ‘Kan itu ayah saya!
Ayat ini juga menegur kita sebagai pembaca zaman sekarang bahwa terkadang kita
yang selama ini memperjuangkan kebenaran, justru menjadi ‘gagap’ ketika
kebenaran yang kita perjuangkan ini berhubungan dengan anggota keluarga kita
sebagai pihak yang bersalah!
Contoh lainnya adalah
pada kehidupan yang ada di sekitar kita (khususnya di daerah Timur Indonesia).
Orang bisa dengan mudah saling bunuh membunuh gara-gara permasalahan keluarga
(klan) atau suku, bukan lagi masalah kebenaran, melainkan masalah kekeluargaan!
Inilah tantangan PEDANG yang dimaksudkan Yesus.
Hal lain yang masih
mengganjal bagi saya, kalau pun Yesus datang membawa PEDANG, mengapa Ia harus
mempertentangkan ide pedang dengan damai? Bila kita cermati konteks bacaan ini,
teks ini masih merupakan rangkaian pemanggilan Yesus kepada murid-muridNya. Kemungkinan
murid-murid ketika dipanggil, telah mempunyai ekspektasi yang tinggi tentang
“akan seperti apa mereka nantinya” sebagai murid sang Raja. Sebagai muridNya,
mungkin mereka akan menjadi orang penting dalam pemerintahan. Untuk itu, Yesus
segera mengingatkan kepada mereka untuk tidak muluk memikirkan hal tersebut,
justru konsekuensi-konsekuensi di depanlah yang harus berani dihadapi (termasuk
keluarga mereka sendiri). Ungkapan Yesus ini menjadi sebuah hal yang menarik
bagi saya. Saat ini sedang trend Pemilu di berbagai daerah (termasuk PilGub
NTT), berbagai calon dengan semangat menjanjikan hal-hal indah dan memanjakan
telinga masyarakat bahwa ketika sang calon naik sebagai pemimpin, maka akan ada
kehidupan yang lebih baik, lebih indah bahkan lebih mudah! Adakah calon yang
berani maju dengan memberikan konsekuensi-konsekuensi logis ketika mereka
memilihnya?
Atau contoh lain yang
terjadi dalam lingkup kekristenan dan gereja itu sendiri. Dalam teologi sukses,
kebanyakan kita memperkenalkan kekristenan dan mengikut Yesus sebagai sesuatu
yang indah! Siapa mengikut Yesus akan kaya, akan sembuh dari sakit penyakit,
tidak menderita, bahagia dan seterusnya. Pernyataan Yesus dalam Matius ini
justru menjadi counter akan teologi sukses yang selama ini menemani perjalanan
gereja. Ia justru menegaskan bahwa ada pedang yang harus dihadapi murid-murid
sebagai pengikutNya.
Saya tidak begitu menyoroti
tentang gambaran upah (misthos) yang
dijanjikan kepada orang yang menyambut (dekhomai)
Yesus bersama murid-miridNya. Namun yang menarik dari ayat ini adalah konsep
"upah/bayaran" bagi orang orang yang mau menerima Yesus dan
murid-muridnya dengan tangan terbuka. Perlu di diskusikan bersama dalam
kelompok, apakah konsep upah ini merupakan hal yang wajar dan menjadi
konsekuensi logis dari "memberi" dan "menerima"?
Saya ingin berbagi sedikit
pengalaman, sejak hari Jumat-Minggu kemarin saya mengikuti sebuah Peace Camp yang
di adakan di Trawas JaTim oleh Univ. Kristen Petra Surabaya. Peace Camp dihadiri
oleh mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, termasuk dari UKI Maluku.
Dalam sharing mereka sempat bercerita
banyak soal konflik di Ambon. Yang menarik adalah muncul sebuah semangat dalam diri
orang Kristen saat itu bahwa orang Kristen tidak usah takut mati dalam berperang
karena Tuhan akan memberikan bagi mereka kehidupan. Dalam beberapa kasus juga terjadi 'ritus' pemberkatan di gereja sebelum berperang melawan orang-orang bukan Kristen (sumber lain). Pertanyaan usulan saya yang berikut,
pada ayat 39 "Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan
nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan
memperolehnya." Ayat ini bagi saya cukup berpotensi menelurkan gagasan
yang sama bila dibaca dalam konteks perselisihan atau konflik kelompok. Kira-kira
bentuk "kehilangan nyawa" yang seperti apa yang perlu kita hidupi
dalam semangat Kristen saat ini?
Jogja-Surabaya-Trawas-Lamongan-Jogja
Dalam Perjalanan yang Penuh
Warna
Nyong Addy Lado
Komentar
Posting Komentar