Sebuah tafsiran tematis tentang
Kesaksian Bangsa Israel atas TUHAN-nya serta relevansinya bagi kita sekarang
Pendahuluan
Penulis sangat tertarik untuk membahas Yahweh yang terkesan
dekat dengan kekerasan. Dalam hal peperangan, IA adalah pahlawan perang (Kel
15: 3) yang berperang bagi Israel untuk melawan musuh-musuh mereka (Kel
14:14; Ul 1: 30; 3: 22), serta yang turut berperang bersama dengan Israel
(Yos 10: 7-11). Namun dalam kondisi berbeda, Yahweh tidak hanya menjadi
pahlawan perang bagi pihak Israel, IA pun juga berperang melawan Israel! (Yer
21: 5; Rat 2:5). Gagasan bahwa “Yahweh di pihak kita” (oleh Israel) berubah
menjadi “Yahweh seteru Israel” atau “Yahweh musuh kita”.
Dari gambaran-gambaran di atas, terlihat bahwa Yahweh begitu
konsisten dengan keberpihakannya terhadap kekerasan! Gambaran Bapa yang maha
kasih dan membenci kekerasan dalam Perjanjian Baru seolah-olah kontradiktif
dengan apa yang menjadi gambaran Perjanjian Lama. Yang menjadi permasalahannya
adalah bahwa kisah-kisah tentang Yahweh yang berpihak pada kekerasan ini
tertulis pada Alkitab yang bukanlah buku sejarah, melainkan kitab Suci bagi agama
Yahudi (Tenakh) dan juga agama Kristen. Untuk itu penulis tertarik untuk
membahas lebih jauh mengapa tema kekerasan tersebut sangat dekat dengan Yahweh.
Pada akhirnya tulisan ini lebih mengarah kepada sebuah tulisan tematis dengan
tema Yahweh, Perang, dan Kekerasan.
Yahweh yang Berperang
(Yahweh itu PAHLAWAN Perang)
Kel 14: 14 “…TUHAN
akan berperang untuk kamu, dan kamu akan diam saja."
Ul 1: 30 TUHAN, Allahmu,
yang berjalan di depanmu, Dialah yang akan berperang untukmu sama seperti yang
dilakukan-Nya bagimu di Mesir, di depan matamu…”
Ul 3: 22 Janganlah
takut kepada mereka, sebab TUHAN, Allahmu, Dialah yang berperang untukmu."
Gagasan Yahweh sebagai pahlawan perang muncul dalam Nyanyian
Musa setelah bangsa Israel berhasil menyeberangi Laut Teberau serta menenggelamkan
pasukan berkuda Firaun yang mengejar mereka dari belakang. Dalam kisah-kisah
sebelumnya, penggambaran karakter Yahweh yang berperang bersama dengan Israel
pun telah telah didengungkan sampai adanya gambaran pengakuan dari orang Mesir
untuk lari meninggalkan Israel karena TUHAN-lah yang berperang bersama Israel.
(lih Kel 14: 14, 25). Penggambaran Yahweh sebagai Pahlawan Perang (milkhama dari kata lakham yang berarti ‘perang’) dalam situasi diatas, digambarkan
sebagai yang menghukum dengan menggunakan kekuatan alam sedangkan Israel tidak
berbuat apa-apa.
Patrick Miller berpendapat bahwa penggambaran untuk “Allah
pahlawan perang” ini merupakan sebuah wacana yang sangat penting dalam
kesaksian Israel.[1]
Yahweh ditampilkan campur tangan dalam pertempuran yang berdarah-darah sehingga
menampilkan sosokNya yang penuh kuasa dan mahadahsyat. Ini dilakukan untuk
menciptakan masa depan Israel yang terbebas dari segala jenis penindasan dan
menjamin akan Israel yang bebas di negeri yang telah dijanjikan Tuhan.
Menurut Walter
Brueggemann, Allah sebagai pahlawan perang merupakan sebuah metafora yang
menggambarkan Allah yang adalah hakim dan raja. Sebagai pahlawan perang, Dia
seperti sang hakim yang berkomitmen pada ketentuan hukum yang bertindak untuk
memapankan, mempertahankan atau menerapkan hukum yang diketuai oleh raja.
Seperti halnya dengan hakim dan raja, demikianpun pengertian pahlawan perang
berfungsi sebagai prinsip kritis guna menegaskan bahwa Yahweh akan bertempur
dan mengalahkan para pihak yang secara tidak sah memangku kekuasaan publik.
Lebih dari itu, metafora ini, berfungsi sebagai titik rujukan dan peradilan
banding bagi orang-orang yang tidak memiliki pertolongan atau harapan dari
sumber lain.[2]
Penjelasan yang
agak berbeda tetapi sepadan datang dari Millard C. Lind. Ia menjelaskan bahwa Yahweh yang adalah pahlawan pada
akhirnya juga menjadi raja (baca: penguasa/memerintah) atas semua.[3]
Jika kita melihat narasi ini sebagai sebuah bentuk puisi, maka penggunaan kata
‘pahlawan’ dan ‘memerintah’ (milkhama dan
yimlek: Yahweh the Warrior and Yahweh’s Kingship) bisa menjadi permainan
kata dalam puisi. Jika pada awal perikop kita menemukan tema Yahweh pahlawan
perang, maka sebagai penutup kita menemukan tema Yahweh yang menjadi raja dan
memerintah selamanya (lih Kel 14: 3 dan 18). Penggambaran akan Yahweh yang
berperang sendiri ini juga ingin membedakan konsep perang ilahi yang ada di
Timur Dekat. Mengingat bahwa konsep yang berkembang saat itu adalah juga perang
kosmis dimana Yahweh pun berperang melawan ilah-ilah lain, maka dalam rangka
keesaan-nya penggambaran akan Yahweh yang berperang sendiri ini juga berimplikasi kepada Yahweh sendiri-lah yang adalah raja. IA satu-satunya Pahlawan Perang yang
menyatakan kuasanya saat peristiwa dahsyat di Laut Teberau, maka IA juga
satu-satunya raja yang menyatakan diri- Nya di gunung Sinai saat itu.
Adapun Yahweh
sebagai pahlawan perang diangkat kembali dalam Kitab Yesaya dari masa
pembuangan, ketika bangsa Israel bersaksi tentang kekalahan Babilon dan
pembebasan dari pembuangan. Maka dengan demikian, Allah
sebagai pahlawan perang merupakan suatu pemahaman yang dipakai bangsa Israel,
untuk membuktikan kepada bangsa Israel bahwa Allah setia terhadap
perjanjian-Nya. Allah yang selalu menyertai, melindungi dan menolong mereka,
supaya kehidupan bangsa Israel setia dan bergantung hanya kepada-Nya.
Hal menarik lain
dari penggambaran Yahweh yang adalah pahlawan perang adalah mengenai sikap
bangsa Israel. Secara khusus dalam saat- saat tertentu, orang Israel akan
berdoa kepada Yahweh agar Sang Pahlawan juga bertindak menolong mereka. Seperti
dapat kita temui dalam Mazmur: 7: 7 “Bangkitlah, Tuhan, dalam murka-Mu,
berdirilah menghadapi geram orang-orang yang melawan aku….” Atau bisa juga kita
lihat dalam Mazmur 10: 15 “Patahkanlah lengan orang fasik dan orang jahat,
tuntulah kefasikannya, sampai Engkau tidak menemuinya lagi.”
Orang-orang Israel
membayangkan bahwa Yahweh akan membantu mereka dalam keadaan yang darurat atau
bahaya. Sehingga dalam keterancamannya, mereka berdoa agar Yahweh yang adalah
pahlawan perang akan berperang demi kepentingan Israel. Hal ini juga masih
berkaitan dengan penggambaran Breuggemann bahwa Yahweh yang adalah hakim yang
adil akan bertindak bagi keadilan mereka (Israel) yang tertindas.
Yahweh berperang melawan Israel
Jika sebelumnya
kita telah membahas gambaran Yahweh yang berpihak pada bangsa Israel, rupanya
dalam PL kita juga menemui konsep Yahweh yang berperang melawan bangsa Israel
itu sendiri khususnya pada kitab Yeremia. Rupanya ini cocok dengan konsep
Yahweh sebagai pahlawan perang, dan juga adalah raja benar serta hakim yang
adil tidak serta merta memihak pada Israel.
Yeremia melihat
Tuhan yang berpihak kepada mereka kini berbalik melawan umat- Nya sendiri.
Bangsa Yehuda sudah jatuh begitu dalam ke dalam pemberontakan melawan Tuhan,
sehingga kehidupan mereka harus di hancurkan secara radikal.[4]
Tuhan tidak membela orang Israel secara buta tanpa syarat. Dalam kasus ekstrem,
sang hakim dan raja ini dihinakan Israel, dan begitulah Yahweh sebagai pahlawan
perang bergerak melawan Israel. Israel yang telah menyimpang seperti Mesir,
kini dilawan oleh Yahweh sama seperti IA melawan Mesir sebelumnya. Hal ini juga
menegaskan bahwa keberpihakan Yahweh bukan berpihak pada nationality, melainkan moral
conviction.[5]
Dalam kasus Yahweh
yang berperang melawan Israel, terdapat perbedaan cara yang dinyatakan oleh
Yahweh. Jika dalam rangka berperang bersama dengan Israel untuk melawan
musuh-musuhnya, Yahweh bergerak dalam kekuatan keajaiban alam. Maka saat IA
berperang melawan Israel, IA melawannya bukan dengan kekuatan alam, melainkan
melalui bala tentara musuh.[6]
Penulis sengaja menarik kesimpulan (nakal?) mengapa hal ini terjadi, karena
selama ini dalam penggambaran PL, Israel memang selalu digambarkan sebagai umat
yang lemah dari segi jumlah maupun kekuatan bala tentara, sehingga Yahweh
sekali-kali harus berperang dalam membantu Israel yang lemah, sedangkan untuk
berperang melawan Israel, Yahweh dirasa tidak perlu (membuang tenaga?) membuat
hukuman dengan kekuatan alam, IA hanya perlu menggerakan pasukan musuh yang
sudah ada untuk berperang melawan Israel.
Permasalahan
Sesungguhnya jika
melihat gambaran Yahweh sebagai hakim dan raja, mungkin kita tidak akan
mendapatkan masalah yang besar karena gambaran ini memberi kesan positif, bahwa
Yahweh bertindak sebagai penjaga tatanan keadilan di bumi ini. Namun gambaran
Yahweh sebagai pahlawan perang bisa menjadi kontradiktif pula dengan gagasan
sebelumnya, atau paling tidak bisa menjadi sebuah gagasan yang lebih bermasalah
daripada yang sebelumnya. Secara sederhana gagasan tersebut berpotensi masalah
karena Yahweh yang adalah pahlawan perang adalah dia yang ikut campur tangan
dan berperan aktif dalam peperangan dengan kekuatan penuh! Gambaran ini
tentunya berbeda dengan raja yang hanya memberi keputusan perang atau gencatan
senjata.
Yahweh yang adalah
pahlawan perang menempatkan tindak kekerasan di tengah-tengah wacana Israel
tentang Allah, dan hal ini membuktikan bahwa Israel mengagungkan tindak
kekerasan yang disponsori oleh Allah dan yang juga dilaksanakan-Nya.[7]
Hal ini bisa berimbas pada salah kaprah pembaca Alkitab saat ini yang
menginterpretasi bahwa Yahweh merestui tindakan kekerasan bahkan dalam tindakan
tersebut, Yahweh pun akan bersama-sama dengan umat melalukan perlawanan.
Untuk menjawab
akan problematika-problematika tersebut, Breuggeman memberi 3 pokok pembahasan
untuk kita perhatikan bersama[8].
Pertama, Israel hidup dalam dunia
yang penuh ancaman, di mana ada berbagai kekuatan yang saling bersaing, yang
semuanya berupaya memegang kendali. Jadi, tindak kekerasan yang dilakukan
Yahweh bukanlah tindak kekerasan yang membabi buta atau tak terkendali
melainkan untuk membela dan memberi kehidupan kepada orang-orang yang tidak
berdaya melawan kekuatan demonic yang tidak hendak memberi kehidupan kepada
siapa pun.
Kedua, tindak kekerasan mesti dibeda-bedakan secara sosiologis dan menuntut
“penafsiran kelas”. Retorika tindak kekerasan ini secara khas diujarkan mulut
orang-orang yang atas cara lain tidak memiliki senjata yang efektif. Wacana
kesaksian itu tidak dengan sendirinya sama dengan kekerasan fisik actual,
tetapi adalah sebuah tindak imajinasi public, dengannya rujukan pada Yahweh
sebagai pahlawan perang membuat medan tenaga kekuatan sosial menjadi lebih
rumit dari pada tanpa wacana dimaksud.
Ketiga, sekalipun gambaran Yahweh sebagai pahlawan perang menyajikan bahan
dan tampaknya memberi pembenaran untuk tindak kekerasan macho di dunia ini, namun tindak kekerasan manusiawi dimaksud tidak
disponsori teks atau didasarkan pada teks. Yang pasti ialah bahwa gambaran
Yahweh sebagai pahlawan perang berada pada pinggiran tindak kekerasan tersebut.
Boleh jadi bahwa tindak kekerasan yang dikenakan pada Yahweh harus dipahami
sebagai tindak kekerasan tandingan, yang terutama berfungsi sebagai
prinsip kritis guna menggerogoti dan menggoyahkan tindak kekerasan lain.
Ide-ide atau narasi yang menunjuk pada sikap Yahweh yang
berpihak pada kekerasan rupanya juga keluar dalam rangka menguatkan umat Israel
yang lemah dan pasrah serta takut terhadap musuh-musuhnya. Untuk itu muncul
pula konsep-konsep di atas dengan maksud memacu mereka untuk menaruh harapan
mereka kepada Yahweh satu-satunya yang kuat dan adalah pahlawan tersebut.
Penjelasan dari
Breuggeman ini setidaknya membuat pembaca PL paham betul situasi saat itu dan
mengapa sampai terjadi keluarnya konsepsi Yahweh yang adalah pahlawan perang. Tentunya
konsep yang dikeluarkan ini menjawab kebutuhan politik (terkait otoritas
kepemimpinan yang diletakkan dalam puncak hirarki), sosiologis (terkait
kesatuan bangsa dan sentralisasi kekuasaan serta membangun kekuatan bersama),
maupun secara Etika (terkait dengan ketaatan dan kebergantungan kita terhadap
Tuhan).
Penutup
Yahweh
sebagai pahlawan perang dan dekat dengan kekerasan telah kita bahas sebelumnya.
Jika konsep perang dan kekerasan yang ada dalam tema PL ini muncul karena
kebutuhan Israel saat itu, maka apakah konteks zaman sekarang hal tersebut
masih relevan? Sesungguhnya, praktek-praktek perang dalam PL tidak pernah berhenti pada dirinya
sendiri. Ada maksud pengudusan dan keselamatan umat pada masa itu. Untuk itu menurut penulis,
pembenaran perang itu pun hanya berlaku untuk masa itu. Toh, dari
penjelasan di atas kita bisa melihat bahwa perang pada masa itu merupakan
peristiwa yang berujung pada kelahiran Israel sebagai umat Allah yang bebas
dari penindasan.
Itu sebabnya, sebagai pembaca zaman
ini, contoh-contoh perang dalam PL tidak
untuk menjadi panutan pada zaman sekarang, cukuplah untuk masa itu saja. Karena
penggambaran Yahweh pada saat itu menjawab kebutuhan Israel saat itu serta
sifat konsepnya yang cocok dengan masa itu, maka kita tidak perlu mengikutinya
sebagai sebuah pedoman moral yang harafiah karena masanya sudah berbeda.
Lalu apa yang perlu kita lakukan?
Secara etis bukan berarti kita harus membuang bagian PL yang menggambarkan
kekerasan dan sosok Yahweh yang berperang, namun sebagai umat yang hidup pada
masa yang sudah berbeda ini, kita perlu melakukan reinterpretasi atas
teks-teks tersebut sebagai evaluasi dalam konteks kesadaran akan hak-hak asasi
yang semakin tinggi.
Selain itu penulis juga tertarik
untuk membawa semangat Perang Yahweh dalam kehidupan sekarang. Apabila kita
melihat Yahweh adalah Tuhan yang berperang melawan ketidakadilan dan
penindasan, serta pemberontakan yang terjadi pada zaman Israel, maka selayaknya
Perang Yahweh pun masih relevan dengan keberadaan kita saat ini sekalipun dalam
masa yang berbeda. Sebagai umat Tuhan kita juga perlu bersama-sama dengan
Yahweh berperang melawan ketidakadilan dalam bangsa ini, korupsi yang
merajalela, ketimpangan sosial, atau pun pelanggaran HAM yang terjadi. Tentunya
yang perlu digarisbawahi, semuanya perlu dilakukan melalui TERANG
reinterpretasi dengan kesadaran akan hak-hak asasi yang semakin tinggi.
*
* *
[1]
Lihat. Patrick D. Miller, Jr., The Divine
Warrior in Early Israel. (Cambridge, Mass.: Harvard University Press,
1973), hlm 113-117
[2] Lihat
Walter Brueggemann, Teologi Perjanjian
Lama: Kesaksian,Tangkisan, Pembelaan. (Maumere: Penerbit Ledalero, 2009),
hlm 368-369
[3] Lihat
Millard C. Lind, Yahweh Is Warrior: The
theology of Warfare in Ancient Israel. (Pennsylvania: Herald Press, 1980),
hlm 50-51
[4]Lihat
Robert M. Paterson, Tafsir Alkitab Kitab Yeremia. (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2008), hlm 211-213
[5] Lihat
Millard C. Lind, Yahweh…. hlm 33
[6] Lihat
Millard C. Lind, Yahweh…. hlm 23
[7] Lihat
Walter Breuggemann, Teologi…. hlm 371
[8] Lihat
Walter Breuggemann, Teologi…. hlm
372-373
Komentar
Posting Komentar