Langsung ke konten utama

Mempertanyakan Allah di tengah Penderitaan


Sebuah uraian dan refleksi teologis atas ‘penderitaan’ umat Pilihan Allah serta tindak lanjutnya sebagai umat yang hidup pada zaman ini.

Pendahuluan
Maromak La Toba![1], Gusti ora Sare (Tuhan tidak pernah tidur!) sebuah ungkapan klasik yang menjadi dasar teologi yang saya anut sejak dulu. Ketika dalam keadaan sukacita dan bahagia dalam sebuah kemujuran atau nasib baik, kita pun akan dengan mudah mengucapkan ungkapan “Ya! Benar, Tuhan tidak pernah tidur! Ia akan selalu memperhatikan anak-anaknya.” Begitu pula pada saat kondisi malang dan menderita, dengan ratap pun kita akan terus menerus minta pertolongan dengan kepercayaan bahwa Tuhan pun tidak pernah tidur.
Dalam paper singkat ini, saya tertarik untuk mengambil tema penderitaan yang menjadi center atau sorotan utama dalam pembahasan dan refleksi teologis saya nantinya. Untuk lebih spesifiknya, sorotan kali ini akan tertuju pada bangsa Israel (baca: Yahudi) sebagai umat perjanjian Allah serta yang menjadi titik pijak Perjanjian Lama dalam menggambarkan karya TUHAN Allah.
Bangsa itu Pilihan Allah…
Seperti yang kita ketahui bersama, sesuai kesaksian Perjanjian Lama, bangsa Israel merupakan bangsa pilihan TUHAN yang diberkati. Setidaknya ada 3 anggapan tentang pemilihan bangsa Israel[2], yang pertama yaitu ketika Allah menciptakan manusia. Kedua, yaitu ketika Tuhan memanggil Abraham dan menjanjikan kepadanya keturunan yang berlimpah. Dan yang ketiga, adalah pada saat peristiwa eksodus dari tanah Mesir.
Sosok Tuhan yang memilih Israel pun merupakan Tuhan yang monoteis dan sebagai konsekuensi dari ke-tunggalannya pun, Ia pun digambarkan sebagai sosok Tuhan yang serbabisa (omnipotent), serbatahu (omniscient) dan murah hati (benevolent)[3]. Posisi ini dibentuk sebagai perlawanan atau reaksi dari konsep politeistik yang berkembang pesat pada saat itu di Timur Dekat Kuna, dengan gambaran bahwa terdapat sosok Allah yang banyak sesuai dengan musim.
Namun konsep Tuhan sebagai omnipotent, omniscient, dan benevolent ini masih perlu dipertanyakan kembali oleh bangsa Israel sebagai bangsa pilihan-Nya. Ini dilakukan sebagai respon atas realita penderitaan yang terjadi pada bangsa Israel sesuai dengan kesaksian PL. Reaksi mempertanyakan ke-serba-an Tuhan ini bukan hanya terjadi pada saat sekarang ini saja, namun sudah menjadi pergumulan dari bangsa Israel sejak dahulu. Seperti kita temui dalam kitab Mazmur, Yesaya, Yeremia maupun Ayub sekalipun.
Contohnya pada masa pembuangan di Babel, posisi Tuhan kembali dipertanyakan oleh bangsa Israel. Tuhan pun bisa digambarkan sebagai Tuhan yang telah dipukul kalah oleh Marduke dewa Babel (walaupun memang pada akhir kisah bisa digambarkan kekalahan Marduke dan Israel pun dapat kembali). Namun ditengah konsep ke-serba-an Tuhan, kisah seperti ini tentunya meruntuhkan kepercayaan ini. Ada pula kisah-kisah lain dalam teks yang bernada sama.
Pertanyaan klasik yang muncul pun adalah jika Allah serba tahu, serbabisa, dan maha kasih, lalu mengapa penderitaan dan penindasan dibiarkan oleh Allah terjadi di dunia ini? Bukankah Ia cukup kuat untuk tidak membiarkan penderitaan di dunia ini terjadi? Seperti yang kita ketahui, dalam kesaksian PL, bangsa Israel masuk ke dalam perbudakan sebanyak 2 kali dan 2 kali pula dibebaskan oleh Allah. Yang pertama adalah keluar dari tempat perbudakan di Mezir (Kel 13:3; 20:2; Ul 6:12 dst, bnd Kel 6:5; Ul 6:21), begitulah bangsa ini juga dibebaskan dari perhambaannya di Babel. Dalam Yesaya 40:2 dikatakan: “tenangkanlah hati Yerusalem dan berserulah kepadanya, bahwa perhambaannya telah berakhir, bahwa kesalahannya telah diampuni, sebab ia telah menerima hukuman dari tangan TUHAN dua kali lipat karena segala dosannya.”
Makna kata dua kali lipat dalam PL merupakan hutang yang harus dibayar oleh setiap orang yang melakukan kesalahan. Seseorang yang mencuri milik sesamanya harus membayar 2 kali lipat kerugian (Kel 22:3-9). Demikian pula Allah “akan memberi ganti kepadamu (kepada Israel) dua kali lipat” untuk mengimbangi penderitaan di masa pembuangan (Zakh 9:12), Tuhan pun juga mengembalikan kepada Ayub dua kali lipat dari kekayaan semula. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukuman atas Israel telah berakhir dan tidak ada lagi tuntutan tambahan.[4]
Pertanyaan klasik di atas kembali muncul, kalau begitu mengapa bangsa Israel (baca: Yahudi) kembali ditindas dan mendapatkan penderitaan yang begitu berat pada masa-masa setelahnya? Dalam sejarah pemerintahan Kristen dan Islam, tidak sedikit orang-orang Israel yang menjadi korban penindasan dari suatu kepemimpinan yang keji. Jutaan orang Israel mati ditangan pemerintahan Hitler hanya atas dasar politik dan rasialis. Orang-orang yang menjadi korban ini pun bisa dikatakan sebagai orang yang tidak tahu menahu akan kesalahan mereka. Namun toh hukuman dan penderitaan ini terus saja menimpa mereka. Lalu dimanakah Tuhan? Bukankah saat ini umat pilihannya sedang ditindas oleh si Jahat?
Penderitaan dan Teodise
Menyikapi akan pertanyaan-pertanyaan klasik dan tak terjawabkan ini, telah banyak orang yang mencoba merumuskan dan menjawabnya. Ada dua masalah besar yang perlu kita lihat dan soroti dalam permasalahan penderitaan ini. Yang pertama adalah Penderitaan berkaitan dengan fakta adanya keburukan fisik di alam, termasuk fisik dan tubuh manusia. Dan yang kedua adalah Kejahatan yang berkaitan dengan fakta bahwa manusia bisa berbuat jahat, melakukan tindakan moral yang amat buruk.
Berkaitan dengan ke-serba-an Tuhan itu, maka dirumuskanlah pemahaman yang beragam. Epikuros misalnya, ia menyikapi penderitaan umat manusia dan kehendak Tuhan dengan beberapa kemungkinan. Yang pertama, Allah mau menghapus keburukan, namun tidak mampu. Kedua, Allah mampu menghapus keburukan, tapi tidak mau. Ketiga, Allah tidak mampu dan tidak mau menghapus keburukan itu. Keempat, Allah mampu dan mau, tetapi mengapa keburukan itu tetap ada? Selain itu ada pula Origenes yang merumuskan bahwa kejahatan dan penderitaan merupakan penyalahgunaan kebebasan yang diberikan Allah. Ada juga Marcion yang mengungkapkan bahwa ada dua Allah, yaitu Allah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Sedangkan Agustinus sebagai salah satu bapak gereja mengungkapkan bahwa kejahatan merupakan ketiadaan kebaikan.[5]
Baru pada abad ke 17, Gottfried Wilhelm Leibniz mengemukakan istilah ‘teodisea’ (theos: Allah, dike: keadilan) yang artinya adalah membela keadilan Allah atau pembenaran Allah. Maksudnya adalah realita kejahatan dan penderitaan bertentangan dengan kenyataan Allah Maha Kasih dan Maha Kuasa, untuk itu Allah perlu dibela dan dibenarkan. Leibniz juga mengemukakan bahwa ada tiga jenis kejahatan yaitu kejahatan metafisik, moral dan natural. Rumusan mengenai teodise dan upaya pembelaan akan diri Tuhan ini pun menjadi semakin berkembang dan mempengaruhi pola pikir banyak orang sampai saat ini.
Namun berbeda dengan Leibniz dan para teolog teodise yang lain, Jon Levenson seorang teolog Yahudi, juga seorang ahli Biblika memberikan cara yang lain. Ia memberikan pijakan teologisnya bukan pada filsafat melainkan tetap pada Alkitab (Ibrani). Ia merumuskan bahwa Tuhan sebagaimana digambarkan oleh Alkitab memang omnipotent, namun berada dalam suatu drama kehidupan yang membuatNya tidak selalu tampil sesuai dengan potensiNya.[6] Kata kunci dalam rumusan Levenson adalah drama![7] Yang menggambarkan bahwa sebenarnya Tuhan masih dan tetap serba bisa atau maha kuasa, namun Ia sendiri masuk dalam suatu drama kehidupan yang membuat Tuhan untuk tidak selalu tampil sesuai dengan potensiNya yang serbabisa atau maha kuasa itu sendiri.
Levenson tidak menyangkali posisi dan keberadaan yang jahat atau keburukan. Yang jahat tetaplah ada, namun Tuhan (sudah, selalu dan akan) menjadikannya baik. Dengan demikian Tuhan tidak dipandang secara statis dalam kesempurnaanNya, karena Ke-serba-bisa-an Tuhan berada di dalam drama kehidupan yang silih berganti itu. Ketika Tuhan menjadikan yang baik itulah penciptaan. Penciptaan yang demikian berlangsung terus menerus sejauh tantangan untuk menjadikan yang baik itu masih ada. Di tengah itu, umat perlu meyakinkan dirinya bahwa Tuhan akan menjadikan yang buruk itu baik.
Tentunya rumusan dari Levenson ini saya rasa wajar karena ia adalah seorang Yahudi yang juga muncul setelah peristiwa holocaust/shoah. Sehingga spiritualitas untuk tetap teguh ditengah penderitaan mendapat bagian yang sangat penting dalam rumusannya. Selain itu pula, sebagai orang dalam drama tersebut, kita juga dituntut untuk memperjuangkan kondisi ra ke arah tov (Qumran)/ shalom (BHS), sama seperti yang juga disaksikan oleh Alkitab, bahwa Tuhan sendiri juga aktif dalam melawan kejahatan.
Refleksi Teologis
Dalam proses penulisan paper ini, saya menyadari bahwa selama ini pola pemahaman saya sejak kecil , ternyata sama dengan kemungkinan pertama yang di rumuskan Levenson, yaitu cara ratapan. Dengan harapan penuh kepada Tuhan, saya akan terus-menerus “membangunkan” Tuhan agar segera bertindak (sama dengan konsep pada Mazmur 70, 74, 77). Upaya menggantungkan harapan sepenuhnya kepada Tuhan dan tetap setia ditengah penderitaan. Walaupun cara seperti ini juga identik dengan kalangan Yahudi, mengingat sepak terjang perjalanannya yang selalu ditindas, namun konsep ini juga menjadi konsep yang juga dihayati oleh saya sebagai orang Kristen.
Sebagai orang Kristen di Indonesia maupun seluruh dunia, kehidupan kita pun tidak juga berarti jauh dari penderitaan. Bahkan sebagai manusia yang hidup dalam dunia ini pun, kita tidak dapat memisahkan diri pula dengan penderitaan atau keburukan. Namun yang menjadi permasalahan adalah ketika kita berhadapan dengan pertanyaan “Mengapa?” apalagi mungkin saja ketika pada saat itu kita sendiri yang sedang berada dalam penderitaan itu. bisa saja secara gamang iman kita bertanya dengan ragu “mengapa Engkau membiarkan ini terjadi?”. Penilaian saya, adalah wajar saja jika kita bertanya seperti itu. Namun perlu kita ingat juga bahwa kita juga perlu melihat kemungkinan akan makna lain yang juga muncul disaat yang bersamaan ketika drama penderitaan tersebut terjadi. Tuhan yang kita kenal saat ini hanya bagian kecil dari Tuhan yang sebenarnya. Hal ini pun pada akhirnya senada dengan ungkapan bahwa “memahami Allah adalah mengakui bahwa Allah senantiasa tak dapat kita pahami secara tuntas” (Tamquam Ignotum). Selalu ada misteri di mana nalar, ungkapan teologis apapun tak mampu mencerap. Memahami Allah pada intinya adalah keberanian misteri iman dan merayakan misteri iman itu dengan keberanian untuk berjalan bersama dengan tanda tanya.[8] Sebagai umat Tuhan saat ini kita juga perlu menghayati kehidupan kita hari demi hari sebagai bentuk dan wujud pengalaman kita bersama Tuhan. Sebagai penutup dari paper ini, saya mencoba untuk mengutip pandangan dari seorang tokoh spiritual yang bernama Rudolf Otto. Ia mengatakan bahwa pengalaman bersama Tuhan merupakan “mysterium fascinans et tremendum”, pengalaman misterius yang mempersona sekaligus menakutkan. Misterius karena pengalaman itu tak dapat dijelaskan, mempesona karena membuat orang kagum dan bahagia, serta menakutkan karena membuat orang gemetar.
***


[1] Bahasa Tetun-Timor “Tuhan tidak pernah tidur”
[2] Pembahasan kuliah Hermeneutik Perjanjian Lama 2 bersama Pdt. Prof. Gerrit Singgih, Ph.D
[3] Pada awalnya, bisa dikatakan bahwa Israel memiliki banyak dewa nenek moyang yang di puja oleh suku-suku Israel, seperti El- Elyon yang di puja Melkisedek dan Abraham (kejadian 14:18,19,20,22), El-Olam yang dipuja Ishak di Bersyeba (kejadian 21: 33; 26:23, 24), El-Shaddai yang di puja di Tabor (mazmur 68:15), dll. Semua gelar dan sifat-sifat El ini kemudian diambil-alih oleh Yahweh sebagai Allah Perjanjian yang satu-satunya, sehingga Yahweh sendiri juga memperoleh gelar-gelar dan sifat dari El. (disarikan dari Bloomendal, J. Pengantar kepada Perjanjian Lama. Jakarta:BPK Gunung Mulia 1979. p. 31-32)
[4] disarikan dari Barth-Frommel, Marie-Claire. Tafsiran Alkitab: Kitab Yesaya pasal 40-55. Jakarta: BPK Gunung Mulia. p. 54-55
[5] bahan kuliah Pdt. Wahyu Satria Wibowo, M.Hum dalam kuliah Pokok Pokok Filsafat Barat
[6] bahan kuliah Pdt. Robert Setio, Ph.D dalam kuliah Teologi Perjanjian Lama
[7] menjadi sorotan pentinga dalam bukunya Creation and the Persistence of Evil: The Jewish Drama of Divine Omnipotence. San Francisco: Harper and Row, 1988. xvi + 182 pp. 2nd edition, Princeton: Princeton University Press, 1994.
[8] Materi Program Pengembangan Spiritualitas Mahasiswa (P2SM) 2011. Oleh Pdt. Daniel Litstiabudi, M.Th

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangan Pakai Tangan Kiri Anda! Itu Contoh yang TIDAK LAYAK (?)

Halo temans, saya kembali lagi dengan tulisan barul Kali ini mengenai kebiasaan seseorang menggunakan tangan kirinya sebagai tangan utama untuk beraktivitas. Seringkali kita mengenal kebiasaan ini dengan istilah kidal/left handed.  *** Ps: Untuk membatasi lingkup tulisan ini, saya tidak akan membahas isu ini ke dalam bahasan agama tertentu. Indonesia adalah salah satu negara yang masyarakatnya cukup memegang kuat budaya atau kearifan lokalnya, salah satunya adalah budaya penghormatan kepada orang lain. Terdapat manners khusus untuk bersikap, merespon, berterimakasih, bahkan beraktivitas (sekalipun aktivitas tersebut dilakukan untuk diri sendiri, tanpa bermaksud menyinggung orang lain). To be honest, I am the person who usually use my left hand for many activities! I am left handed. So here is my perspective.   Temans, menjadi orang kidal di Indonesia seringkali mendapat perlakuan yang diskriminatif. Jika anda yang sedang membaca artikel ini juga kidal,...

Berbahagialah Kamu!

( sebuah tafsiran dari ucapan bahagia Yesus dalam seri Khotbah di Bukit kitab Matius 5:1-12) Pendahuluan Dalam paper singkat kali ini, saya memilih Ucapan Bahagia yang diucapkan oleh Yesus dalam seri khotbah di bukit yang dimuat dalam Injil Matius 5:1-12. Di dalamnya saya membahas perikop ini berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang muncul ketika saya membaca perikop tersebut secara lebih cermat ( close reading ). Metode tafsir yang saya gunakan dalam paper ini akan mengarah kepada metode tafsir Kritik Bentuk, dimana saya akan mengamati jenis dan kedudukan teks dalam kehidupan. Selain itu juga tidak menutup kemungkinan ada model tafsir lain yang saya pakai apabila menemukan sesuatu yang menarik di dalamnya. Tafsiran kali ini saya mencoba mengulasnya ayat demi ayat. Khotbah di Bukit 5:1 Ketika Yesus melihat orang banyak itu, naiklah Ia ke atas bukit dan setelah Ia duduk, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya. 5:2 Maka Yesuspun mulai berbicara dan mengaj...

Backpacker ke Singapura Sendirian II

Touch Down! Akhirnya mendarat juga di Changi International Airport! Bandara ini dinobatkan sebagai bandara terbaik di dunia lohh! Yap, bener banget. Saya sudah buktikan sendiri kalau ini emang bandara terbaik di dunia. Fasilitas di bandara memang sangat lengkap dan terkesan tidak lagi di bandara melainkan di mall-mall besar gitu. Yang paling saya suka adalah adanya kursi pijat di sisi bandara yang dapat digunakan secara gratis. Kebayang deh kalau fasilitas-fasilitas itu ada di Indonesia, pasti pada ngantri untuk dipijat gratisan. Hahaha. Kabarnya di Changi ada bioskop bagi penumpang yang transit lama atau harus menunggu penerbangannya dalam waktu yang cukup lama. Kabar baiknya, fasilitas bioskop juga di berikan secara cuma-cuma alias GRATIS kepada semua penumpang yang berada di Changi. Ooppss.. mending kita gak usah banding-bandingin dengan bandara-bandara di Indonesia deh. Itu semua masih urusan PT. Angkasa Pura I & II.  Setelah mengisi form imigrasi dari Pemerintah Singapo...